Sistem Outsourching Tidak Membawa Kesejahteraan Bagi Pekerja
Adanya sistem kerja kontrak outsourcing, membuat nasib pekerja tidak jelas.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Adanya sistem kerja kontrak outsourcing, membuat nasib pekerja tidak jelas. Hal tersebut dinyatakan oleh M Yunus Budi Santoso yang merasakan ketidak adilan karena berlakunya sistem outsourching.
Berbicara sebagai saksi dalam sidang pleno pengujian undang-undang Pasal 59 ayat 1 dan 8 UU Ketenagakerjaan yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (6/7/2011), Yunus menceritakan ia pernah bekerja sebagai pembaca meteran listrik sejak tahun 2000.
Ia mulai menekuni pekerjaan tersebut masih dikelola oleh Unit Pengelola Pembaca Meteran PT PLN. Namun, sejak 2004 pengelolaan dialihkan ke perusahaan outsourcing, yang telah berganti tiga perusahaan atas dasar lelang. Akibat terus berganti-ganti itu, Yunus mengeluh dirinya tidak diangkat menjadi karyawan tetap di PT PLN.
"Saat dikelola Unit Pembaca Meteran hingga tahun 2004, status saya juga tidak jelas karena saya tidak mendapat surat keputusan penugasan dari Unit Pembaca Meteran PLN yang digaji atas dasar rute baca meter," tutur Yunus dalam sidang.
Menurut Yunus, akibat sistem kontrak tersebut, tahun ini dirinya dinonaktifkan dengan alasan tidak jelas sehingga ia melaporkan hal tersebut ke dinas tenaga kerja di wilayahnya.
Namun menurut, Kepala Biro Hukum Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Sunarno, hubungan kerja atas dasar perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sesuai pasal 59 jo pasal 64 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membuka kesempatan seluruh warga negara mendapat pekerjaan yang layak.
Pasal itu juga menjamin amanat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja untuk mendapat imbalan yang setimpal dengan pekerjaan yang dilakukan. Oleh karena itu ia berpendapat petitum pemohon yang menyatakan pasal-pasal diuji menimbulkan kerugian konstitusional dan bertentangan pasal 27 ayat 2, pasal 28D ayat 2, pasal 33 ayat 1 UUD 1945 tidak benar dan mengada-ngada.
Meski demikian, Sunarno mengakui tingkat ketaatan perusahaan melaksanakan amanat UU tersebut belum maksimal.
Sunarno menjelaskan dalam dunia kerja, yang menentukan jenis pekerjaan outsourcing maupun yang tidak itu ditentukan oleh perusahaan pemakai pekerja itu sendiri. Namun pemerintah, lanjutnya, memberi batasan dan mewajibkan perusahaan untuk membuat alur kegiatan.
"Untuk menentukan apakah jenis pekerjaan itu masuk core bussiness atau non-core bussiness tergantung perusahaan dengan membuat alur kegiatan. Sebab, pemerintah kesulitan untuk menentukan itu," katanya.
Oleh karenanya, Pemerintah ucap Sunarno, menganggap UU telah memberikan perlindungan pada tenaga kerja.