Profil HR Mohamad Mangoendiprodjo
Pemberian anugerah ini, sekaligus rangkaian peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November mendatang.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari ini, Jumat (7/11/2014) pemerintah akan memberikan gelar kepahlawanan kepada setia warga negara yang dianggap berjasa, memberikan bakti bagi tegaknya NKRI. Pemberian anugerah ini, sekaligus rangkaian peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November mendatang.
Sebelumnya, melalui Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa mengumumkan adanya penghargaan dan pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk empay orang Warga Negara Indonesia. Salah satunya adalah HR Mohamad Mangoendiprodjo.
Haji R.Mohamad Mangoendiprodjo adalah cicit Setjodiwirjo atau Kiai Ngali Muntoha, keturunan Sultan Demak dan Prabu Brawidjaja.
Setjodiwirjo memperluas pemberontakan terhadap Belanda bersama-sama Pangeran Diponegoro, ke daerah Kertosono,
Ngawi dan Banyuwangi.
Setelah lulus dari OSVIA pada tahun 1927, Mohamad menjadi Pamong Pradja. Sebenarnya ia bisa hidup dengan berkecukupan,
sebagai Wakil Kepala Jaksa dan kemudian Asisten Wedana, di Jombang, Jawa Timur. Namun rasa kebangsaannya dan
keinginan membela negara, pada tahun 1944, Mohamad pada umur 38 tahun, kemudian bergabung menjadi Tentara Pembela Tanah Air
(PETA).
Setelah lulus pendidikan, ia kemudian ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon di Sidoardjo. Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, maka Bung Karno membentuk
Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di seluruh Indonesia, termasuk Surabaya.
Saat tentara sekutu bersama pemerintah Sipil Belanda (NICA) ingin menjajah kembali Indonesia dan melakukan pendaratan di
Surabaya pada 25 Oktober 1945, Mohamad bersama para pemimpin TKR lainnya yang telah dididik PETA, seperti Bung Tomo,
Doel Arnowo, Abdul Wahab, Drg Moestopo, melakukan perlawanan terhadap para penjajah baru.
Pada akhir Oktober, pertempuran antara pemuda dan tentara Sekutu, terjadi di seluruh kota Surabaya. Pimpinan
Sekutu meminta pertemuan untuk melakukan gencatan senjata dengan Bung Karno dan Bung Hatta pada 29 Oktober 1945, di
Surabaya.
Pada pertemuan tersebut, Muhamad diangkat sebagai pimpinan seluruh TKR Jawa Timur dan sebagai kontak biro dengan
pihak Sekutu. Surat keputusan ini kemudian ditanda-tangani oleh Jendral Oerip Soemomihardjo, seperti juga surat
keputusan pengangkatan pimpinan TKR Jawa Tengah, kepada Jendral Soedirman.
Pada hari yang sama, 29 Oktober 1945 di sore hari, Mohamad bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya
untuk melihat progres gencatan senjata.
Rombongan ini berhenti di Jembatan merah depan Gedung Internatio. Dalam gedung, tentara Inggris dari kesatuan Gurkha, sedang
dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia diluar gedung, untuk diminta menyerah.
Mohamad masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Mohamad kemudian
disandera oleh tentara Ghurka dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya.
Mobil Mallaby meledak dan terbakar. Mallaby tewas di dalam mobil. Meninggalnya Mallaby, yang merupakan Jendral Inggris pertama
yang mati berperang di Indonesia, membuat pihak Inggris marah dan menggemparkan dunia. Inggris mengultimatum
agar rakyat Surabaya yang mempunyai senjata, untuk menyerahkan senjata dengan mengangkat tangan setinggi-tingginya.
Ultimatum ini tentunya ditolak oleh Mohamad, serta jajaran TKR dan pemuda Surabaya, sehingga pada 10 Nopember
1945, Surabaya dihancurkan Inggris melalui darat, laut dan udara dan pecahlah perang terbuka.
Pertempuran di Surabaya ini nantinya berlangsung selama 22 hari dengan korban TKR 6315 pejuang. Mohamad walaupun
terkena pecahan mortir di pelipisnya, tetap terus memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu.
Pertempuran ini menandai awalnya Indonesia sebagai negara yang berdaulat yang tidak mudah untuk dijajah kembali.
Setelah pertempuran Surabaya, Mohamad dipromosikan menjadi Jendral Mayor dan menjadi Kepala Staff TNI, yang surat
keputusannya ditanda-tangani oleh Presiden Soekarno.
Setelah mengakhiri karier militer, Mohammad menerima tugas Soekarno menjadi Bupati Ponorogo. Tugas Mohamad adalah untuk
mengamankan daerah Madiun setelah pemberontakan PKI Muso.
Ia kemudian menerima tugas selanjutnya sebagai Residen (Gubernur) pertama Lampung, untuk juga mengendalikan
keamanan di daerah ini.
Pada tanggal 13 Desember 1988, Mohamad meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di kota Bandar Lampung. Mohamad adalah ayah dari Letjen Himawan Soetanto, Mertua dari Menko Polkam Soesilo Soedarman, Eyang dari Menko Maritim Indroyono Soesilo, dan Eyang dari anggota DPR Aroem Hadiati.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.