Para pelaku perjalanan di bandara Changi nantinya tak perlu lagi sibuk mengantre untuk mendapatkan cap di paspor atau pemeriksaan boarding pass berkali-kali.
Singapura menyetujui sistem imigrasi otomatis bebas paspor yang akan mulai beroperasi di Bandara Changi pada tahun 2024.
Langkah tersebut diumumkan dalam sidang parlemen yang mensahkan beberapa perubahan dalam Undang-Undang Imigrasi di Singapura.
Seperti apa penerapannya?
Biometrik akan digunakan sebagai autentikasi yang akan digunakan di berbagai titik otomatis, mulai dari penyerahan bagasi, melewati imigrasi sampai boarding, jelas Menteri Komunikasi negara tersebut Josephine Teo.
"Hal ini akan mengurangi penumpang yang harus menunjukkan dokumen perjalanan mereka berulang kali, sehingga memungkinkan prosesnya lebih lancar dan nyaman," katanya.
Namun, Josephine mengatakan kepada parlemen: "Kemungkinan besar paspor fisik masih diperlukan bagi banyak warga negara selain Singapura."
Mengapa Singapura melakukannya?
Beralih dari pemeriksaan manual sudah dimulai di bandara Changi sejak tahun 2020.
Saat ini, pemeriksaan secara manual dan otomatis dilakukan bersamaan di Bandara Changi, di mana teknologi biometrik sudah digunakan bersama dengan perangkat lunak pengenalan wajah.
Perubahan ini akan memungkinkan Singapura untuk "memberikan layanan imigrasi yang lebih lancar, aman, dan efisien bagi semua wisatawan," kata Josephine.
Ia mengatakan komitmen untuk sepenuhnya menghapuskan metode manual diperlukan karena "menjalankan dua sistem secara paralel tidak hanya mahal tapi juga rumit."
Amankah prosesnya?
Data wisatawan hanya akan disimpan untuk jangka waktu singkat, yang disebut Josephine sebagai periode "yang diperlukan untuk pemrosesan, analisis, atau investigasi imigrasi".
"Setelah tugas-tugas ini selesai dan ICA [badan otoritas Imigrasi dan pos pemeriksaan di Singapura] tidak lagi membutuhkannya, data pribadi tersebut akan de-personalised dan dihapus dengan benar."
Semua data akan dienkripsi yang diatur untuk melindungi dari upaya diakses tanpa persetujuan, dibocorkan, dimodifikasi atau disalahgunakan, dengan pemeriksaan dan audit rutin, demikian bunyi RUU tersebut.
Namun Dr Bo Liu, seorang Associate Professor dari University of Technology Sydney (UTS) yang ahli dalam keamanan siber dan privasi, memperingatkan jika pengumpulan dan penyimpanan data biometrik menimbulkan kekhawatiran soal privasi.
"Kebocoran data biometrik tidak dapat dihindarkan."
"Sebaliknya, kita bisa mengganti paspor jika informasi pribadi kita bocor atau hilang," kata Dr Liu.
Ia juga mengatakan sistem biometrik "harus sangat akurat dan dapat diandalkan untuk menghindari kesalahan positif atau negatif."
"Meskipun teknik yang ada saat ini cukup akurat dalam kasus normal, masih ada potensi risiko yang dihadapi oleh serangan tingkat lanjut dalam konteks kecerdasan buatan."
Namun, peneliti pemrosesan gambar dan pembelajaran mesin dari UTS, Dr Qiang Wu, menggambarkan teknologi ini sebagai teknologi yang "aman, matang, dan stabil".
Dr Wu, yang penelitiannya mencakup biometrik, mengatakan keberadaan sidik jari dan pengenalan wajah sudah lama ada dengan banyak protokol dan pedoman yang dikembangkan.
Selama teknologi ini diikuti dan diawasi secara ketat, ia yakin Australia juga siap mengadopsi teknologi tersebut.
Namun, Dr Wu mengatakan tantangan sebenarnya terletak pada bagaimana informasi tersebut dibagikan ke berbagai negara, "mengingat setiap negara memiliki undang-undang dan peraturan yang berbeda dalam hal bio-manajemen dan perlindungan privasi".
Bisakah Australia menerapkannya?
Lembaga Australian Border Force mengatakan pihaknya sedang mempertimbangkan sejumlah inisiatif lain, yang mencakup penggunaan kredensial digital.
"Seperti Singapura dan Uni Emirat Arab, Australia sedang mempertimbangkan pemrosesan nirsentuh menggunakan biometrik" sehingga penumpang dapat melewati pemeriksaan imigrasi tanpa paspor mereka, kata seorang juru bicara.
Namun belum diketahui secara pasti kapan hal ini akan dilaksanakan.
Karena teknologi ini masih dalam masa penerapan awal ditambah dengan potensi risiko keamanan siber, profesor ilmu data Universitas Queensland, Gianluca Demartini mengatakan, "memperhatikan dan menunggu bisa menjadi strategi yang baik untuk Australia."
Dr Demartini mengatakan Australia dapat memutuskan untuk menerima inovasi tersebut jika terdapat "lebih banyak manfaat daripada masalah di negara-negara tersebut" seiring dengan kemajuan teknologi dan keamanannya dari waktu ke waktu.
"Yang terbaik adalah menemukan momen yang tepat, ketika manfaatnya memenuhi tingkat keandalan teknologi yang dapat diterima."
Apakah ada negara lain yang mengadopsinya?
Dubai sudah menawarkan layanan bebas paspor di bandara bagi turis tertentu yang terdaftar, serta akan menerapkan sistem biometrik mereka secara lebih luas pada bulan November.
Negara ini memiliki 122 'Smart Gate' yang memungkinkan penumpang menyelesaikan proses imigrasi dalam waktu lima hingga sembilan detik.
Ini berarti Singapura akan menjadi salah satu dari sedikit negara pertama yang mengumumkan dan menerapkannya di tahun 2024.
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris