TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan diminta untuk tidak ngotot meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) WHO.
Menurut peneliti Indonesia for Global Justice Salamuddin Daeng kepada wartawan , Selasa (1/10/2013) pasal-pasal dalam FCTC jika diratifikasi akan membawa konsekuensi yang besar terhadap ekonomi tembakau pada tingkat nasional.
”kebijakan kontrol tembakau melalui sisi permintaan sebagaimana diatur dalam pasal 6-7 FCTC. Pasal itu mengatur tentang kebijakan pajak dan harga, serta non-harga untuk mengurangi permintaan terhadap tembakau akan berbentuk kebijakan kenaikan pajak, kenaikan cukai sebagai cara meningkatkan harga rokok.” Kata Salamuddin Daeng
Dalam kenyataannya kebijakan kenaikan pajak atau cukai tembakau akan berimplikasi langsung terhadap kebangkrutan industri kecil. Cukai tembakau merupakan komponen biaya terbesar dalam industri tembakau yang harus dibayarkan sebelum berproduksi.
Kemudian di pasal 9-10 FCTC yang mengatur tentang aturan dan keterbukaan kepada publik, kandungan/komposisi produk tembakau dapat menjadi regulasi yang memberatkan bagi industri rumahan tembakau.
"Dibutuhkan biaya yang sangat besar bagi uji laboratorium, dan biaya lainnya yang harus dibayarkan pada instansi berwenang dalam menilai kandungan bahan bahan dalam rokok. Persyaratan ini akan sangat melelahkan bagi industri kecil dan menengah," jelasnya
Dia menjelaskan, pasal 17 FCTC tentang mengendalikan sisi suplai tembakau melalui kegiatan ekonomi alternatif merupakan pasal yang selama ini telah menuai protes dari kalangan petani tembakau nasional.
Alhasil, jika pasal ini diberlakukan maka secara otomatis para petani akan kehilangan sumber pendapatannya. Bagi kalangan industri nasional pasal ini sangatlah membahayakan mengingat tidak adanya pasokan tembakau dari petani dalam menghasilkan kretek maka akan menimbulkan konsekuensi impor.
"Padahal impor dikendalikan oleh kartel internasional yang harganya tidak menentu. Selain itu tembakau-tembakau impor akan mengubah citarasa dari produk yang dihasilkan oleh industri nasional," katanya
Salamudin menjelaskan, proyek global anti tembakau telah muncul sejak awal tahun 1990-an dan menjadi agenda resmi organisasi kesehatan dunia WHO yang meluncurkan proyek prakarsa bebas tebakau 1998.
Dia menjelaskan, FCTC masuk ke dalam hukum nasional negara melalui ratifikasi menjadi UU dan menyusup ke dalam UU sektoral di banyak negara. Proyek anti tembakau sebagian besar dibiayai oleh perusahaan farmasi multinasional seperti Pharmacia & upjhon, Novartis, Glaxo wellcome yang sangat aktif mendani WHO melalui proyek parakarsa bebas tembakau.
Proyek ini memperoleh dukungan dari badan-badan dunia lainnya seperti IMF, World Bank, badan-badan dibawah PBB lainnya, LSM bloomberg Initiatives dan kalangan universitas.
Dia mengingatkan, bagi perusahaan multinasional atau pemerintahan negara-megara maju, adopsi atau ratifikasi FCTC tidak akan banyak membawa pengaruh terhadap ekspansi bisnis, mengingat perusahaan multinasional dan negara-negara maju memiliki instrument perlindungan Internasional yang lain yang mungkin dapat digunakan secara efektif untuk mendukung operasi mereka secara internasional, regional.
Kedua instrument tersebut yakni (1) Bilateral Investment Treaty (BIT) dan (2) Perjanjian perdagangan bebas World Trade Organization (WTO) atau Free Trade Agreement (FTA).
Sebelumnya, Menkes Nafsiah Mboi mengatakan, keberatan sejumlah lembaga dan juga Kementerian antara lain Kemenperin dan Menakertrans terkat rencana ratifikasi rokok tidak beralasan dan tidak masuk akal. Termasuk juga argumentasi cukai. Menkes ngotot meratifikasi FCTC semata dengan argumentasi kesehatan dan menafikan kepentingan industri.