TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guna mengetahui apakah aturan perundang-undangan berpihak kepada rakyat sesuai amanat konstitusi, khususnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang dibahas Komisi VI DPR RI, maka DPR harus berani memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit seluruh perjanjian perdagangan internasional.
“Fraksi PDIP DPR siap melakukan itu. Sebab, dampak dari liberalisasi ekonomi sekarang ini Indonesia mengalami defisit transaksi sampai 70 persen, karena lebih banyak impor daripada ekspornya sejak Januari 2010 sampai 2013 ini. Untuk itu, deindustrialisasi itu harus dievaluasi,” kata Arya Bima Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dalam diskusi ‘RUU Perdagangan’ bersama pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noorsy, dan pengajar fakultas ekonomi UI Surjadi di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (22/10/2013).
Menurut Arya Bima, RUU Perdagangan yang sudah diperbaiki oleh pemerintah, yang terdiri dari 438 daftar inventarisasi masalah (DIM), akan dibahas sampai Januari 2014.
“Dalam kurun waktu itu pasti akan banyak berbagai kepentingan yang masuk. Karena itu harus dikawal oleh masyarakat agar menghasilkan sebuah UU yang berpihak kepada rakyat sesuai amanat konstitusi, dan bukannya untuk kepentingan asing atau liberalisasi,” ujarnya.
Sebelumnya RUU yang diajukan oleh Kemendag tersebut sempat dikembalikan oleh Komisi VI DPR RI, dan sudah diperbaiki khususnya yang berbau neolib, dan bertentangan dengan amanat UUD 1945. RUU ini akan mengatur masalah perdagangan terkait dengan kedaulatan pangan, pedagang kecil dan menengah (UKM), termasuk masuknya ritel seperti Alfamart, Indomart, dan mall-mall yang sudah masuk kabupaten/kota di Indonesia.
Fraksi PDIP sendiri, kata Arya Bima akan mencermati RUU ini secara ideologis, misalnya dalam memproteksi pasar-pasar tradisional.
“Di mana kebijakan ritel yang diputuskan dengan Perpres per 1 Januari tersebut harus dievaluasi, karena terbukti kompetisi perdagangan kita tak berimbang. Yaitu banyak dikuasai barang-barang impor, sedangkan impor kita minus. Sehingga banyak terjadi kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat akhir-akhir ini termasuk kedelai,” katanya.
Sementara itu Surjadi mengingatkan jika sebuah RUU yang mempunyai spirit nasionalisme, tapi begitu dituangkan dalam perundang-undangan malah bertabrakan dengan UU yang lain, sehingga terjadi tumpang-tindak peraturan. Termasuk UU otonomi daerah yang mengatur hubungan pusat dan daerah, juga PP No.38/2007 yang mengatur kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
“Belum lagi masih banyak masalah internal di Kemendag RI sendiri, yang terjadi antar Dirjen, dan dengan kementerian terkait seperti perindustrian,” katanya.