TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Beberapa perusahaan yang menyewakan tower dan Inbuilding Coverage (IBC) kepada AXIS telah menyepakati restrukturisasi kontrak sewa tower dan IBC, di Jakarta, sejak awal minggu ini.
Setelah PT KOMET Konsorsium, PT Ida Lombok, dan beberapa perusahaan lain, kini PT Era Bangun Jaya menyambut baik restrukturisasi kontrak.
Lumban Simanjutak, Head Of Marketing Era Bangun Jaya menyatakan, kesepakatan restrukturisasi merupakan jalan terbaik bagi perusahaan tower dan IBC provider.
“Bagi kami pada prinsipnya tidak ada masalah, selama restruktrusisasinya ke depan tidak saling merugikan dan dalam prinsip bisnis untuk jangka panjang harus win-win Solution bagi kedua belah pihak,” katanya, di Jakarta, Jumat (15/11/2013).
Menurut Lumban, kesepakatan restrukturisasi didasarkan pada prinsip tidak saling merugikan.
“Sekali lagi, pada prinsipnya saya setuju selama tidak saling dirugikan dan tidak harus saling menguntungkan untuk di awal, karena jangka panjang kerjasama ini akan sangat bagus,” katanya.
Sejumlah tower dan IBC provider tersebut, tidak termasuk tower dan IBC provider yang listing di bursa saham seperti PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo).
Bersama PT Indosat Tbk, TBIG dan Protelindo merupakan tiga besar perusahaan yang menyewakan tower dan IBC kepada AXIS.
Pardomuan Sihombing, Sekjen Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) mengatakan, emiten tower telekomunikasi disarankan mengikuti langkah tower dan IBC providernon listed.
Kondisi industri telekomunikasi saat ini terus melesu.
Tren konsolidasi, seperti yang dilakukan PT XL Axiata Tbk (XL) dan AXIS, akan turut mendorong banyak efesiensi, termasuk dalam hal penggunaan tower dan IBC.
Para emiten tower yang mengikat kontrak sewa dengan AXIS, harus segera memanfaatkan momentum ini, seperti yang dilakukan sejumlah tower dan IBC providernon listed.
Apalagi, selama ini santer terdengar AXIS tengah kesulitan keuangan.
Langkah ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk kelangsungan bisnis tower provider di tengah lesunya industri telekomunikasi dan tren konsolidasi.
“Saya rasa keputusan sejumlah perusahaan tower dan IBC provider non listed itu sudah tepat, sebab bisnis tower dan IBC diperkirakan akan terus melesu seiring tren konsolidasi di industri telekomunikasi. Untuk kepentingan bisnis jangka panjang, emiten-emiten tower sebaiknya memanfaatkan momentum ini dengan merestrukturisasi kontrak tower dan IBC dengan AXIS,” kata Pardomuan, Jumat (15/11).
Pardomuan menyatakan, restrukturisasi kontrak dengan AXIS bisa menjadi jalan tengah untuk kepentingan bisnis jangka panjang mereka.
Saat ini momentum tepat buat emiten tower dan IBC. Bila restrukturisasi tidak dilakukan sekarang, emiten tower dan IBC bisa mengalami dua kerugian sekaligus yang akan berpengaruh kepada bisnis ke depan.
Pertama, setelah merger dengan XL, sangat mungkin terjadi XL melakukan efisiensi penggunaan tower dan IBC.
Efisiensi ini, dalam jangka pendek akan berpengaruh langsung terhadap kinerja perusahaan tower dan IBC, yakni harga saham mereka berpotensi terpangkas.
Kedua, bila tidak melakukan restrukturisasi sekarang, sangat mungkin terjadi manajemen XL tidak akan melakukan kerjasama sewa tower dan IBC lanjutan kepada mereka karena menganggap tidak ada kesepahaman dalam bisnis.
Bila ini yang terjadi, akan merugikan bisnis emiten tower dan IBC dalam jangka panjang.
“Bila Tower dan IBC Provider tidak memanfaatkan momentum ini, justru akan merugi. Restrukturisasi ini sebagai jalan tengah yang win win solution,” kata Pardomuan.
Riset Morgan Stanley akhir September 2013 menyebutkan, konsolidasi di industri telekomunikasi Indonesia akan menekan bisnis tower.
Kebutuhan penambahan tower dari 3 operator utama yaitu Telkomsel, Indosat dan XL di tahun 2014 akan turun sekitar 16% dibandingkan tahun ini.
Morgan Stanley pun memangkas target harga saham 2014 bagi dua emiten berbasis tower yaitu PT Tower Bersama Tbk (TBIG) dan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) hingga minus 28% dan 23%.
Pada tahun 2014 saham TBIG yang diproyeksikan bakal mencapai level Rp 6.700 hanya ditargetkan pada level Rp 4.800 per saham. Adapun saham TOWR ditargetkan pada level Rp 2.700, turun dari asumsi semula yaitu Rp 3.510 per saham.
Proyeksi harga saham tersebut didorong oleh potensi penurunan belanja modal industri selama tahun 2014. Dan penurunan belanja modal atau capital expenditure (Capex) ini dipengaruhi oleh kebutuhan pasar yang menurun akibat konsolidasii.
Akibatnya, di tahun 2014, Capex TBIG yang semula diperkirakan akan mencapai Rp 2,28 triliun, diturunkan menjadi Rp 1,8 triliun.
Sementara Capex TOWR diproyeksikan terpangkas dari Rp 1,6 triliun menjadi hanya Rp 1,2 triliun.