TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah anggota DPR menilai merger PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Axis Telekom Indonesia (Axis) janggal dan berpotensi merugikan konsumen serta negara.
Kondisi itu terjadi karena merger XL dan Axis bertentangan dengan regulasi serta menimbulkan konsentrasi pasar yang tinggi.
Komisi I DPR akan meminta klarifikasi Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Tifatul Sembiring karena memberikan persetujuan atas aksi merger PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Axis Telekom Indonesia (Axis).
Anggota DPR Komisi I, Tantowi Yahya secara tegas mengatakan, pemberian semua frekuensi berkapasitas 15 Mhz yang sebelumnya dimiliki Axis di jaringan 1.800 Mhz untuk dimiliki XL bertentangan dengan regulasi.
"Frekuensi tidak diperkenankan untuk dijual bebas. Apalagi jika hal itu hanya didasarkan pada aspek komersial semata," kata Tantowi dalam diskusi “Apakah Aksi Merger XL-Axis Sesuai dengan Regulasi?” di Jakarta, Senin (9/12/2013).
Menurut politisi dari Partai Golkar itu, frekuensi adalah aset negara dan merupakan sumber daya terbatas yang manfaat terbesarnya adalah peningkatan kapabilitas dan kapasitas masyarakat. Bukan potensi sekadar pendapatan negara saja. Dengan demikian masyarakat berhak menikmati layanan hingga ke pelosok.
Tantowi mengatakan, akuisisi dan merger di industri adalah hal biasa dan telah diatur dalam UU No 40/2000 tentang Perseroan Terbatas. Namun, menyangkut industri telekomunikasi, ada perlakuan khusus yang harus diketahui khalayak bahwa merger hanya untuk asset dan pelanggan perusahaan yang dimerger atau diakuisisi.
Tidak termasuk spektrum frekuensinya, karena frekuensi tidak merupakan aset perusahaan namun berupa hak pakai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 tahun 1999 mengenai Telekomunikasi bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah.
Tantowi mengakui, dari sisi peraturan yang membawahinya terdapat ambigu. Dalam PP No. 53 Pasal 25 ayat 1, izin frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Namun dalam PP No. 53 Pasal 25 ayat 2 disebutkan pemindahtanganan frekuensi dibolehkan atas izin menteri.
Meski peraturan membolehkan menteri untuk mengalihkan izin frekuensi, Tantowi menilai aspek kepentingan bangsa alias Merah Putih harusnya lebih dikedepankan, sehingga perlu dikonsultasikan dengan stakeholder lainnya.
Karenanya, imbuh Tantowi, agar tidak berpotensi merugikan negara, seluruh frekuensi yang dikelola oleh Axis wajib dikembalikan ke negara untuk ditender ulang dan dikelola oleh operator memiliki komitmen mewujudkan inklusi telekomunikasi.
“Selama ini, perusahaan asing di Indonesia terbukti hanya mencari keuntungan bisnis semata, bukan untuk kepentingan masyarakat luas hingga ke pelosok tanah air,” ujarnya.
Tantowi juga mengatakan, pengalihan frekuensi 1.800 Mhz kepada XL juga tidak tepat, karena spektrum ini lebih sesui dengan kebutuhan masyarakat di pelosok lebih banyak menggunakan 1800 (2G). Padahal selama ini, XL terbukti jelas mangkir dari komitmen modern licensing, yang mengharuskannya membangun hingga ke pedesaan dan perbatasan.
Ia mencurigai, frekuensi 1.800 Mhz ini kelak lebih banyak dimanfatkan oleh XL untuk menggelar LTE (long term evolution) sehingga memperkuat posisi XL untuk menggelar 4G, yang akan memberikan operator Malaysia itu keunggulan pada layanan data. Sekedar diketahui, banyak negara telah menggelar 4G di jaringan 1.800 Mhz, sebab dari segi ekosistemnya lebih matang ketimbang spektrum yang lain.