TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meningkatkan penilaian menjadi menyeluruh terhadap merger PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Axis Telekom Indonesia (Axis), kini giliran anggota DPR mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki kejanggalan dalam merger tersebut.
Chandra Tirta Wijaya, Anggota DPR dari Komisi I, mengapreasiasi keputusan KPPU yang pada akhirnya mengeluarkan keputusan untuk menunda pengajuan merger antara XL dan Axis, sebab dinilai berpotensi memunculkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
"Lembaga lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dapat juga bertindak demi mencegah terjadinya kerugian negara karena merger dua operator itu dalam prosesnya banyak ditemukan kejanggalan dan tidak menutup kemungkinan adanya praktek gratifikasi kepada penyelenggaran negara," ujarnya, Jumat (13/12/2013).
Menurut Chandra, frekuensi adalah sumber daya terbatas yang dialokasikan ke operator melalui modern licensing. Jadi diberikan hak pakai namun juga diberikan kewajiban. Dia mencontohkan, lelang blok tambahan 3G terakhir dilakukan melalui beauty contest. Untuk mendapat tambahan spektrum tersebut, operator diwajibkan melampirkan komitmen pembangunan yang mengikat.
“Motivasi XL merger dengan Axis semata untuk mendapatkan frekuensi. Tapi yang perlu ditanyakan, apakah XL sudah menyampaikan kepada pemerintah komitmen pembangunan yang dilampirkan untuk memperoleh tambahan spektrum tersebut? Jangan-jangan seperti komitmen di modern licensing, dapat izin dan frekuensinya tapi tidak menjalankan komitmennya dengan alasan tidak sanggup bangun. Jelas hal ini hanya menguntungkan XL saja,” ujarnya.
Chandra menegaskan, pemberian frekuensi 1800 MHz secara langsung adalah melanggar prosedur. Seharusnya jika mengacu kepada regulasi, frekuensi eks Axis harus ditarik dulu semuanya, baik 15 MHz di 1800 MHz (2G) dan blok 11 dan 12 di 2100 MHz (3G). Setelah itu baru direalokasikan kembali dengan cara seleksi dan evaluasi, sesuai Permenkominfo No.17 tahun 2005 dan PermenKominfo No.23 tahun 2010.
Jika pemerintah menginginkan pemasukan negara yang maksimal seharusnya mereka menarik kembali 1800 MHz dan melakukan tender ulang karena harga per Mhznya jauh lebih mahal daripada 2100 MHz. Yang terjadi saat ini pemerintah justru memberikan 1800 MHz kepada XL, alias melayanglahpotensialkan keuntungan yang lebih besar.
Dengan melihat berbagai kejanggalan yang ada, Chandra tak segan mendorong KPK juga ikut mengawasi proses merger XL dan Axis yang jelas-jelas tidak fair dan berpotensi merugikan negara.
Dirinya tak ingin kasus mega skandal divestasi Indosat pada 2002 kembali terulang yang menyebabkan BUMN itu berubah menjadi PMA. Saat itu untuk memuluskan langkah mencaplok Indosat, Singapore Technologies Telemedia (STT) menggelontorkan dana sebesar Rp 5,6 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk fee yang disebut-sebut mencapai Rp 500 miliar kepada pihak-pihak tertentu, sebagai transaksi di bawah meja agar proses divestasi berjalan mulus.
Sebelumnya, KPPU menyimpulkan bahwa akuisisi XL terhadap Axis akan dilanjutkan ke tahap penilaian menyeluruh. Karenanya, KPPU belum merestui akuisisi ini.
Penilaian menyeluruh dilakukan disebabkan dalam penilaian awal, KPPU melihat bahwa berdasarkan analisa sementara pasar bersangkutan jasa telekomunikasi seluler di beberapa wilayah dan pasar bersangkutan terkait lainnya terdapat tingkat konsentrasi yang melebihi batas. Dalam penilaian itu, KPPU akan meminta keterangan dari beberapa pihak terkait, termasuk XL sebagai pemohon konsultasi untuk memberikan klarifikasi dan konfirmasi atas data yang diperoleh.