TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat perminyakan dan energi, Kurtubi, mendukung peraturan pemerintah terkait hilirisasi dan pelarangan ekspor mineral mentah ke luar negeri sebelum 12 Januari 2014. PP tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) No 4/2009.
Menurut Kurtubi, hilirisasi dan pelarangan ekspor mineral mentah tersebut harus dilihat sebagai solusi mempercepat kesejahteraan rakyat. Apalagi kekayaan sumber daya mineral di tanah air luar biasa besar, sehingga perlu diletakkan dasar-dasar tata kelola yang bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi.
"Saya sepakat dengan Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang hilirisasi Minerba ini. Ini harus dilihat untuk lebih mempercepat kemakmuran bangsa. Ini kepentingan bangsa," kata Kurtubi saat dialog 'Rencana Pelarangan Ekspor Mineral Mentah', yang diadakan Indonesia Mineral and Energy Studies (IMES) di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (6/1/2014).
Kurtubi menyayangkan hal tersebut belum bisa diwujudkan padahal UU tersebut usianya sudah hampir lima tahun. Kurtubi juga mengkritisi soal pembangunan smelter (permurnian mineral) yang belum dimiliki oleh perusahaan-perusahaan.
"Katanya smelter nggak ekonomis. Padahal smelter di lokasi tambang lebih efisien dibanding di luar negeri. Bijih mentah mahal keluarnya. kalau smelter di lokasi tambang, ongkos itu tidak ada. Kalau listrik umumnya perusahaan tambang sudah punya, tinaggal menambah," kata Kurtubi.
Sayangnya, lanjut dia, gejala-gejala respon positif dari perusahaan atas lahirnya UU Minerba tidak kelihatan sejak awal dengan membangun smelter. Padahal pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian itu juga bakal menyerap tenaga kerja lebih banyak.
Untuk itu, Kurtubi mendorong pemerintah mewajibkan perusahaan-perusahaan tambang di Papua, Sumbawa dan daerah lain harus dibangun. Dengan begitu industri hilir pertambangan Minerba bisa berkembang.
"Supaya kelihatan di situ tambang emas, emas batangannya harus keluar di situ, bukan di luar negeri. Selama ini kan yang dihitung kan persentasenya saja dari yang mentahan yang dibawa keluar," kata dia.
Untuk merealisasikannya, Kurtubi meminta Pemerintah memberi kelonggaran kepada perusahaan-perusahaan untuk membangun smelternya dalam waktu satu hingga dua tahun ke depan.
"Membangun smelter itu menguntungkan. Saya tidak sependapat dengan perusahaan yang berpandangan membangun smelter rugi, kalau rugi bagaimana smelter di luar negeri itu hidup?" kata Kurtubi.