TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria berpendapat perubahan harga elpiji 12 kilogram (kg) akan membawa dampak negatif untuk pemerintah selanjutnya. Sofyano menilai kenaikan harga sebesar Rp 1.000 per kg hanya menunda kepanikan sesaat untuk masyarakat.
"Membatasi kenaikan harga elpiji 12 kg saat ini pada dasarnya sama seperti meninggalkan bom waktu bagi pemerintahan mendatang," kata Sofyano di Jakarta, Selasa (7/1/2014).
Sofyano mengusulkan opsi lain dari "bom waktu" tersebut antara lain meminta pemerintah sosialisasikan bahkan mewajibkan kepada seluruh pejabat tinggi di lingkungan pemerintahan menggunakan elpiji non subsidi. Dalam hal ini elpiji produk blue gas, dan bright gas bisa dijadikan solusi menutup kerugian Pertamina.
"Jika ini berhasil dikampanyekan, maka ini akan mampu menekan volume penggunaan elpiji non subsidi eks Pertamina," ungkap Sofyano.
Sofyano menjelaskan jika elpiji non subsidi dikonsumsi akan memperkecil volume penggunaan elpiji 12 kg non subsidi dan mengurangi kerugian pertamina di sektor elpiji 12 kg.
"Menutupi kerugian Pertamina dengan meng-take over melalui pengurangan dividen bagian Pemerintah juga bertentangan dengan peraturan terkait keberadaan BUMN," papar Sofyano.
Sebelumnya diberitakan Tribunnews.com, PT Pertamina telah merevisi kenaikan harga elpiji 12 Kg menjadi Rp 1.000 per kg yang sebelumnya ditetapkan sebesar Rp 3.959 per kg. Harga per tabung epiji 12 kg di tingkat agen menjadi berkisar antara Rp 89.000 hingga Rp 120.100 terhitung sejak 7 Januari 2014 pukul 00.00 WIB.