TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo menilai kenaikan harga jual elpiji tabung 12 Kilogram (Kg) sebesar Rp 1.000 per Kg tidak akan berdampak pada defisit transaksi berjalan yang kini menunjukkan kondisi perbaikan.
"Enggak berpengaruh. Kalau saya lihat perkembangan transaksi berjalan yang defisit itu menunjukkan kondisi perbaikan. Malah di kuartal IV ini, kita melihat transaksi berjalan bisa ada di kisaran 3 persen. 2 bulan lalu kita perkirakan di kuartal 4 ada di atas 3 persen," ungkap Agus di kompleks Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (7/1/2014).
Dijelaskan, transaksi berjalan pada kuartal III berada di posisi 3,8 persen. Tapi sekarang di kuartal IV bisa di kisaran 3 persen atau di bawah 3 persen.
"Jadi secara umum, Indonesia sudah merespon baik. Impor, dalam arti impor yang tidak perlu itu dikurangi. Kondisi perekonomian kita akan lebih sehat ke depan," ucap Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) ini, kepada wartawan.
Lebih lanjut Agus juga mengapresiasi langkah PT Pertamina yang merevisi kenaikkan harga jual gas elpiji tabung 12 Kilogram (Kg) Rp1.000 per Kg.
Apalagi, menurut mantan Direktur Utama (Dirut) Bank Mandiri ini, salah satu pertimbangan Pertamina menaikkan gas elpiji non-subsidi Rp1.000 karena secara operasional ada kerugian di tubuh perusahaan plat merah tersebut.
Namun, imbuhnya, meskipun kenaikan harga elpiji 12 Kg adalah kewenangan Pertamina, perlu juga masyarakat diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan korporasi melakukan penyesuaian harga jual. Termasuk kajian yang sudah dilakukan sebelum menaikkan harga jual elpiji 12 Kg.
"Jadi saya sambut baik. Kiranya nanti dapat dijelaskan tentang kondisi bagaimana, apakah akan ada kerugian? Dan kalau ada kerugian apakah bisa diperbaiki sistem operasional atau efisiensi sehingga nanti kalau perlu ada penyesuaian lagi dapat diterima dengan baik di masyarakat," jelas Agus.
Ditegaskan Agus, Pertamina pun perlu menjelaskan ke publik, alasan dan hitung-hitungan mengapa merevisi kenaikan harga menjadi Rp 1.000 per Kg.