TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dari beberapa upaya penyelamatan, Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Asep Eka Nugraha tetap berharap besar pada adanya debt to equity swap, yakni konversi utang pemerintah dan BUMN menjadi saham.
"Debt to equity swap, ini konversi besar utang Merpati jadi saham. Ini program yang sangat ditunggu-tunggu," kata Asep, di Jakarta, Senin (10/2/2014).
Utang Merpati saat ini sekitar Rp 7,3 triliun, dan sebagian besar diantaranya adalah utang kepada pemerintah dan BUMN.
Utang Merpati kepada pemerintah tercatat sebesar Rp 2,4 triliun. Asep mengatakan, utang sebesar itu sudah terjadi sejak lama, mulai ketika pemerintah memberikan pinjaman murah yang pertama kalinya untuk pengadaan pesawat CN235 (subsidiary loan agreement 1), kemudian disusul dengan pinjaman murah kedua untuk pengadaan MA60 (subsidiary loan agreement 2).
Sementara itu, utang Merpati kepada BUMN hingga saat ini tercatat sebesar Rp 2,7 triliun. Utang pajak tercatat Rp 0,873 triliun, utang swasta Rp 1,01 triliun. Sedangkan utang kepada karyawan dan dapen sekitar Rp 0,282 triliun, dan kepada pemda sebesar Rp 0,062 triliun.
"Jumlah utang Merpati yang cukup besar, maka harus ada keputusan soal debt to equity swap. Itu akan kita lakukan," jelasnya.
Asep berharap, setidaknya piutang subsudiary loan agreement (SLA 1 dan SLA 2) yang ada di pemerintah, dan piutan BUMN bisa dikonversikan menjadi saham Merpati. Ketika dikonfirmasi, berapa komposisi saham pemerintah di Merpati jika debt to equity swap ini terealisasi, Asep menyatakan belum memperhitungkan.
Yang jelas saat ini aset Merpati secara keseluruhan tinggal Rp 3 triliun, jauh di bawah utangnya yang menyentuh Rp 7,3 triliun.
Sebagai informasi, selain konversi utang menjadi saham, upaya restrukturisasi dan revitalisasi (RR) dilakukan dengan beberapa hal. Di antaranya adalah dengan melakukan kerja sama operasi (KSO) dengan pihak ketiga.
Untuk program ini Merpati mengatakan yang paling mendekati realisasi adalah penerbangan umroh ke Jeddah.(Estu Suryowati)