TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi Aviliani, berharap Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bisa lebih objektif serta lebih terbuka menerima masukan dalam menilai kewajaran besaran pajak yang diklaim wajib pajak.
Hal itu dilakukan untuk menegakkan keadilan dan kepastian hukum yang lebih baik guna mendukung dunia usaha.
“Metode atau ukuran yang digunakan untuk menentukan profitabilitas perusahaan yang lebih mencerminkan kondisi sebenarnya dari pihak independen pemberi masukan mestinya dipertimbangkan oleh Ditjen Pajak untuk diterapkan. Masukan berdasarkan riset yang sudah dipakai di pengadilan itu sebaiknya didengar dan dikaji,” tuturnya saat dihubungi Selasa (4/3) terkait kasus pajak Asian Agri Group (AAG).
Hal ini, menurutnya, sangat diperlukan mengingat besaran laba yang wajar menjadi patokan untuk menentukan jumlah pajak yang mesti dibayar pengusaha. Dalam kasus AAG, kata dia, Ditjen Pajak dan AAG mestinya duduk bersama untuk mendiskusikan apa yang menjadikan adanya perbedaan hasil perhitungan pajak terutang di antara kedua pihak dan mencari titik temu.
Aviliani menambahkan Ditjen Pajak jangan takut melakukan koreksi demi terciptanya iklim investasi yang lebih baik dengan adanya kepastian usaha serta jaminan hukum bagi para wajib pajak. Apalagi AAG sudah kooperatif dan taat hukum dengan melakukan prosedur pengajuan banding. Ditjen Pajak tak perlu takut melakukan perbaikan yang pasti akan didukung dunia usaha yang merupakan mitra pemerintah
Kasus yang dialami AAG, lanjut Aviliani, menunjukkan betapa selama ini terkesan tidak adanya patokan baku yang dipakai oleh aparat pajak untuk menentukan laba perusahaan yang wajar. Akibatnya, kata dia, penentuan besaran pajak terutang yang dirasakan semena-mena itu pun digugat oleh perusahaan yang merasa perhitungan yang tidak masuk akal dan tidak adil.
Asumsi yang selama ini terjadi, lanjutnya, berdasarkan sistem self assesstment wajib pajak harus selalu melaporkan adanya peningkatan pendapatan dan laba dari tahun sebelumnya. Padahal asumsi itu menyesatkan karena bisnis sangat dipengaruhi banyak faktor. “Pertanyaannya apakah pendapatan atau laba tahun lalu bisa selalu menjadi patokan pajak yang harus dibayar di waktu selanjutnya?”
Tapi faktanya, kata dia, wajib pajak merasa harus memenuhi asumsi itu karena saat melaporkan pajak lebih rendah dari tahun sebelumnya hampir selalu dikoreksi oleh aparat pajak. ”Oleh karena itu, dia mengusulkan adanya pihak ketiga independen sebagai mediator dan arbitrase—bila diperlukan--bila ada perselisihan menyangkut besarnya pajak yang mesti dibayar.
Perannya, kata komisaris salah satu BUMN itu, menjembatani dan menyelesaikan masalah terkait perbedaan pajak yang harus dibayar antara yang diklaim wajib pajak dan yang ditetapkan aparat pajak. Mediator dan arbitrase ini, kata Aviliani, selain memastikan penentuan pajak yang lebih objektif juga mengurangi kemungkinan kolusi antara wajib pajak dan aparat.
“Saya kira mekanisme yang kini akan diterapkan di perbankan dalam menangani sengketa dengan nasabah ini bisa diterapkan di bidang perpajakan,” ujarnya.
Sebelumnya, ekonom dan penasehat Indonesia Research and Strategic Analysis Faisal Basri meragukan cara hitung Ditjen Pajak, sehingga menetapkan tagihan kepada Asian Agri mencapai Rp 1,3 triliun.
Dia menilai, Ditjen Pajak lebih pas bila menggunakan laba sebelum pajak dan bunga ditambah depresiasi perusahaan (EBITDA) untuk menghitung besaran pajak terutang Asian Agri. Dengan begitu, nilai pajak terutang perusahaan sawit ini menjadi lebih pasti.
"EBITDA merupakan laba sebelum pembayaran bunga, pajak, penyusutan, dan amortasi," kata Faisal.
EBITDA Asian Agri, lanjut Faisal, mencapai Rp 7,2 juta per hektare. Sementara luas lahan yang dimiliki perseroan mencapai 146.000 hektare. Dengan demikian, mustahil kewajiban pajaknya tembus triliunan rupiah. Meski tidak bisa menjadi patokan utama, setidaknya EBITDA lebih valid dijadikan dasar penghitungan besaran pajak.