TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA- Deklarasi diri Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) pada 14 Maret 2014 benar-benar mengerek harga saham. Pada hari itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melejit hampir 3,23% hanya dalam sesorean. Padahal, sesaat sebelum pengumuman tersebut, indeks masih terkapar di jalur merah.
Euforia Jokowi effect berlangsung sampai enam hari hingga 19 Maret 2014 di level 4.821,457 sebelum dihentikan oleh statement Janet Yellen. Pernyataan Ketua The Federal Reserve soal kenaikan suku bunga di Amerika Serikat pada 2015 dan 2016 membuat IHSG pada 20 Maret 2014 nyungsep 2,54% ke 4.698,973.
Namun pada hari-hari berikutnya indeks mulai bergerak naik. Begitu pula dengan aliran dana asing ke bursa saham. Sepanjang Maret net buy asing mencapai sekitar Rp 8,5 triliun. Jika ditambah dengan transaksi pembelian 15,74% saham PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) oleh Sumitomo Mitsui Banking Corporat ion, ni lainya menjadi Rp 14,476 triliun.
Net buy asing ini jauh lebih besar ketimbang Januari 2014 yang sekitar Rp 2,329 triliun. Juga lebih banyak dari Februari 2014 ketika nilai beli bersih asing sekitar Rp 7,816 triliun. Apakah investor asing juga kesengsem Jokowi? Akankah efek Jokowi jilid kedua muncul lagi jika partai pengusungnya memenangi pemilihan umum legislatif (pileg) pekan depan?
Kepala Riset Reliance Securities Wilson Sofan dan analis Panin Sekuritas Kalvin Lie sepakat, Jokowi dianggap sebagai capres yang market friendly. Sehingga kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akan memuluskan langkahnya melenggang ke kursi RI 1. Dengan begitu, “efek Jokowi” jilid II di pasar saham bisa saja terulang April ini.
Analis teknikal Samuel Sekuritas Muhammad Alfatih juga melihat kemungkinan serupa. Menurut dia, pelaku di pasar modal membutuhkan kepastian. “Kalau Jokowi berpotensi menang dan PDIP menang di legislatif, faktor ketidakpastian pun menurun,” ujarnya.
Pendapat berbeda meluncur dari Kepala Riset Mandiri Sekuritas John Rachmat. Menurut dia, sejak Jokowi mendeklarasikan diri sebagai capres, risiko politik di bursa saham sudah hilang. Pasar, lanjut Jhon, sudah mengasumsikan mantan Walikota Solo itu akan memenangi pemilihan presiden (pilpres).
Makanya ia menganggap hasil pileg tidak terlalu krusial mempengaruhi arah bursa. “Kalau tidak seperti itu, mestinya waktu itu indeks tidak akan melambung,” tandas Jhon.
Memang selalu bullish
Terlepas dari faktor capres tertentu, saban tahun pemilu IHSG memang selalu menjulang. Pada tahun 1999 IHSG melompat sekitar 70%. Lalu di 2004 indeks melesat naik 44,56%. Sepanjang tahun 2009, IHSG terbang 86,98%.
Pada bulan pelaksanaan pileg juga sami mawon. Ketika pemilihan anggota legislatif digelar bulan April 2004, indeks naik 6,5%. Saat pelaksanaan pileg bulan April 2009, IHSG malah terbang 20%.
Tak cuma saat pileg, di bulan pelaksanaan pemilu presiden, IHSG juga selalu berada dalam tren bullish. Kala pemilihan presiden (pilpres) putaran pertama bulan Juli 2004, IHSG menguat 3,4%. Saat pilpres putaran kedua berlangsung September 2004, indeks harga saham melejit 8,7%.
Malah pada pelaksanaan pilpres 2009 lalu, IHSG melambung 14,6% di bulan Juli. “Itu merupakan antisipasi pelaku pasar terhadap pemimpin baru yang diharapkan bisa membawa perubahan,” kata Kalvin.
Namun Wilson mengingatkan, IHSG memang masih dalam tren naik. Dalam jangka pendek IHSG kemungkinan akan bergerak mendatar dengan kecenderungan terkoreksi. Pasalnya, kenaikan indeks saham sebelumnya memang sudah cukup tinggi.
Demikian pula dengan Alfatih. Dia melihat pascapileg indeks akan kembali masuk fase konsolidasi. Investor akan melihat siapa calon wakil presiden (cawapres) yang akan digandeng masing-masing capres.
Yang jelas, Kalvin menilai terpilihnya sosok capres yang dianggap market friendly bisa menggiring IHSG menembus level 5.200–5.500. Posisi tersebut bisa dicapai mengingat price to earning ratio (PER) di titik 5.200–5.500 hanya 16 kali 16,9 kali. “Tahun 2009 PER IHSG 17,1 kali. Tahun-tahun sebelumnya 15 kali–16 kali,” kata Kalvin membandingkan.
Wilson menduga tahun ini IHSG bergerak di kisaran 4.775–5.251. Apakah indeks bisa menyentuh level resistant atau tidak, tergantung dari siapa presiden yang nanti terpilih.(KONTAN/Tedy Gumilar, Herry Prasetyo)