TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Pembangunan Nasional Syahrial Loetan mengatakan, terkait perpanjangan kedua yang sudah memperhitungkan perubahan commercial operasional date (COD) proyek-proyek pembangkit termasuk Central Java Power Plant (CJPP).
Hal itu mengakibatkan terjadinya perubahan fuel mix di sistem kelistrikan Jawa Bali. Karena itu, sedikitnya dampak kerugian negara mencapai Rp9 triliun, yang terdiri dari 3 faktor berikut.
Pertama, dari kontribusi batubara yang ditargetkan sebanyak 70 persen pada tahun 2017, berkurang menjadi 67 persen.
Penurunan kontribusi batubara tersebut diambil alih oleh bahan bakar gas. Alhasil, terjadi peningkatan pemakaian bahan bakar gas dari 11 persen menjadi 17 persen.
"Hal ini meningkatkan biaya pembangkitan yang lebih tinggi," ujar Loetan, Senin (2/6/2014).
Loetan membandingkan biaya pembelian tenaga listrik selama 1 tahun dari CJPP dengan biaya pokok penyediaan tenaga listrik sistem Jawa Bali di tahun 2013. Maka anggarannya lebih rendah Rp4,5 triliun jika menggunakan listrik dari CJPP.
Kedua, potensi kerugian juga terjadi akibat penundaan pelaksanaan proyek PLTU Batang karena adanya eskalasi harga pada bahan konstruksi dan harga tanah.
Eskalasi harga diperkirakan mencapai 10 persen. "Sehingga secara total bisa mencapai angka Rp 4,5 triliun," ungkap Loetan.
Ketiga, kerugian juga terjadi sebagai dampak multiplier effects akibat tidak terserapnya tenaga kerja sebanyak 3.000 orang sejak tahap konstruksi hingga proyek selesai. Tenggat waktu pembangunannya diperkirakan selama 4 tahun.
“Jadi, terlalu banyak kerugian negara yang bakal terjadi dengan penundaan pembangunan proyek PLTU Batang itu," papar Loetan.