"Jangan sampai tindakan KPPU justru menjadi disinsentif bagi BUMN yang bergerak di Industri Pelabuhan," kata Kurnia Toha.
Menurut hasil kajian Kurnia, KPPU telah 5 (lima) kali memeriksa dan memutus perkara persaingan di Industri Pelabuhan, yaitu Perkara Dugaan Monopoli, Posisi Dominan, dan Rangkap Jabatan JICT, Perkara Tender Harbour Mobil Crane, Perkara Tender Gamma Ray Container, Perkara Tender Pengerukan Alur Pelayaran Pelabuhan Belawan, dan Perkara Dugaan Tying Agreement dan Penguasaan Pasar oleh Pelindo II di Pelabuhan Teluk Bayur.
Menurut Kurnia Toha, dari kelima perkara tersebut, telah diajukan kasasi untuk 4 (empat) perkara, dimana Mahkamah Agung memutuskan 1 kali menguatkan Putusan KPPU, 2 kali membatalkan Putusan KPPU, dan 1 perkara sedang proses pemeriksaan.
Kurnia melihat bahwa KPPU seringkali dalam memeriksa dan memutus perkara tidak menerapkan due process of law, seperti menggunakan indikasi sebagai dasar menghukum, atau tidak mempertimbangkan Saksi dan Ahli yang diajukan Terlapor seperti dalam Perkara Dugaan Tying Agreement dan Penguasaan Pasar olel Pelindo II di Pelabuhan Teluk Bayur.
Kurnia menyoroti pemahaman hukum dari Sumber Daya Manusia (SDM).
Ia mencontohkan, Putusan KPPU dalam Perkara Perkara Dugaan Tying Agreement dan Penguasaan Pasar oleh Pelindo II di Pelabuhan Teluk Bayur, telah dikoreksi dengan tepat oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dengan membatalkan putusan KPPU karena menghukum Pelindo II berdasarkan perjanjian sewa lahan dengan klausul bongkar muat yang telah tidak berlaku.
Kurnia menilai hal ini bertentangan dengan prinsip sanksi adminsitratif yang merupakan kewenangan KPPU dimana tujuannya untuk menghentikan pelanggaran, atau mengembalikan pada keadaan semula, bukan sebaliknya malah menghukum pelanggaran yang sudah berakhir.
Lebih lanjut, Kurnia meminta KPPU harus lebih bijak dalam memeriksa dan memutus perkara, karena di negara yang sudah mapan penegakan hukum persaingan usahanya seperti Amerika Serikat dan European Community, tidak semua tindakan pelanggaran hukum persaingan usaha harus di hukum.
Tetapi KPPU harus mempertimbangan dampak positif yang harus lebih besar dari dampak negatif yang muncul, yang dalam hukum persaingan usaha di kenal dengan pendekatan rule of reason.
"Seperti contoh, Pelindo II yang saat ini manajemen dan operasionalnya efisien, tidak dapat dihukum hanya karena pesaingnya, seperti perusahaan bongkar muat lain, gulung tikar atau merugi," tegas Kurnia.
Ekonom Fakultas Ekonomi UI, Andi Fahmi Lubis, menegaskan pentingnya efisiensi BUMN pelabuhan. Bahwa hukum persaingan usaha, menurut Andi Fahmi Lubis, ditujukan untuk mencapai efisiensi, sehingga tidak dapat suatu perusahaan yang efisien, dihukum karena pelaku usaha yang tidak mampu bersaing dan inefisien, mati atau merugi.
Andi Fahmi justru berpendapat bahwa tersingkirnya pelaku usaha yang tidak efisien dalam pasar adalah tujuan dari hukum persaingan usaha itu sendiri, sehingga yang tersisa adalah pelaku usaha-pelaku usaha yang kompetitif dalam pasar.
Terkait dengan kualitas putusan KPPU, Andi Fahmi justru melihat peranan Mahkamah Agung sangat vital untuk meluruskan putusan KPPU yang salah.
"Sehingga penegakan hukum menjadi insentif bagi pelaku usaha, bukan disinsentif," kata Andi.