TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pekan lalu, Undang Undang Perkebunan telah diketuk palu. Salah satu pasal yang memuat kewajiban pengusaha perkebunan untuk menyediakan lahan sebesar 20 persen untuk kebun plasma petani. Lantas bagaimana nasib petani mandiri?
Asril Sutan, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) mengatakan, UU Perkebunan sejatinya dapat melindungi petani karet di tengah tingginya minat penanaman modal asing (PMA) pada sektor karet. Misalnya, bagi petani mandiri dan tidak terafiliasi dengan perusahaan harus diberikan legalitas yang kuat dalam urusan lahan.
Petani mandiri harus dilindungi dengan izin penggunaan lahan karet dan tidak tersisih dengan izin tambang atau usaha lain yang dirasa lebih memiliki profit tinggi. Selain itu, porsi pembatasan asing menurut Asril tidak bijak diketuk dalam besaran angka. Apalagi jika ada pembatasan hingga 30 persen. Persoalannya kata Asril, industri karet juga masih butuh tekhnologi , sumber daya manusia (SDM) yang mungkin didapat dari asing.
Jalan keluarnya, Asril menyarankan lebih baik perusahaan karet diwajibkan untuk menjadi perusahaan Indonesia. "Mereka berbadan hukum Indonesia dan wajib membayar pajak. Cara lain jadi perusahaan terbuka saja," ujar Asril, Selasa (7/10/2014).
Nah, pada ketentuan untuk kewajiban lahan rakyat sebesar 20 persen dari luas lahan perusahaan. Asril mengaku keberatan dengan angka sebesar itu. Sebab, tidak mudah untuk membina petani karet untuk mampu berproduksi karet sesuai mutu perusahaan. Lebih baik kata Asril dilakukan secara bertahap. Lewat cara replanting setiap tahunnya. Jadi bantuan tidak hanya dengan memberikan lahan atau bibit. Tapi juga bantuan untuk replanting.
"Peran pemerintah juga harus nyata. Mereka harus datang ke lapangan untuk memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada petani," tutur Asri.