TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi mengecam keras keputusan PT Telkom yang melakukan tukar guling anak usahanya PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) ke Tower Bersama Infrastructure (TBIG) beberapa waktu lalu.
"Keputusan Telkom melakukan tukar guling sangat merugikan keuangan negara," tegas Uchok dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (13/10/2014).
Uchok berpendapat, Telkom jika punya otak dan pikiran yang benar, tidak usah menjual atau jual saham perusahaan yang menguntungkan. Yang harus dijual itu, perusahaan yang merugi. Mitratel perusahaan prospek ke depan bagus, dan dipaksakan untuk dijual.
Sebelumnya, Telkom menjual 49 persen saham Mitratel kepada TBIG seharga Rp 2,31 triliun. TBIG tidak membayar dalam bentuk tunai ke PT Telkom, melainkan dengan menukar 290 juta saham TBIG. Dengan demikian, keseluruhan saham Telkom di Mitratel saat ini dihargai Rp 4,71 triliun atau Rp 1,2 miliar per menara, karena saat ini Mitratel memiliki 3928 menara.
Uchok membeberkan mengapa transaksi ini merugikan Negara. Pertama, kata Uchok, pembayaran bukan tunai. TBIG membayar Telkom dengan menerbitkan saham baru senilai Rp 7.972 per saham. Dengan demikian, Telkom berisiko menderita kerugian bila harga saham jatuh di bawah Rp 7.972.
"Mengingat gejolak pasar saham, tidak ada seorang pun yang dapat menjamin bahwa harga saham akan naik atau turun. Jadi transaksi ini sangat berisiko," ujarnya.
Alasan kedua, harga murah. Telkom menjual Mitratel dengan harga rerata per menara sebesar Rp 1,2 miliar. Pada saat hampir bersamaan, XL Axiata yang menjadi pesaing Telkomsel, menjual 3.500 menara ke PT Solusi Tunas Pratama Tbk dengan harga Rp 5,6 triliun dalam bentuk tunai. Itu artinya, XL berhasil mendapatkan harga Rp 1,6 miliar per menara. Selisih harga antara harga yang ditetapkan Telkom dan XL adalah Rp 400 juta per menara.