TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta untuk melakukan percepatan dan memberikan insentif pembangunan pipa gas. Hal tersebut terasa mendesak karena bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri.
Direktur Indonesia Resourses Studies (Iress), Marwan Batubara, mengatakan pemerintah sudah seharusnya memberikan fokus yang lebih untuk industri gas di Indonesia. Sebab, bila dibandingkan bahan bakar minyak (BBM), cadangan gas Indonesia masih lebih besar. Apalagi, pemerintah juga harus melakukan impor BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menurut Marwan, berdasarkan data PT Pertamina (Persero) setiap bulan Indonesia masih mengimpor 13 juta barel BBM untuk memenuhi kebutuhan solar (30 persen) dan premium (70 persen) karena kapasitas kilangnya terbatas.
"Kilang Indonesia hanya mampu menghasilkan sekitar 825 ribu barel minyak mentah per hari dan hanya menghasilkan 75 persen BBM. Selain itu, cadangan minyak akan habis dalam 11 tahun jika tidak ada temuan sumber baru,” ujar Marwan, Rabu (29/10/2014).
Sementara, di sisi lain cadangan gas bumi masih besar. Per harinya, kata Marwan, bisa memproduksi sampai 17,5 juta ton gas. Tapi hingga kini konsumsi dalam negeri baru 1,5 juta ton, alhasil sisanya diekspor karena adanya kontrak masa lalu.
Menurut Marwan, permintaan gas dalam negeri terus melonjak dalam beberapa tahun terakhir. Pada akhir 2014, permintaan gas kota naik 224-956 juta kaki kubik. Dengan peningkatan pertumbuhan gas domestik, ke depan pemerintah harus bisa mengintegrasikan sektor hulu dan hilir untuk menjaga pasokan gas dalam negeri.
Karena itu, kata dia, pemerintah harus bisa memberikan kemudahan dan insentif bagi para investor yang mau menanamkan modalnya untuk pengembangan infrastruktur gas. Insentif bisa berupa bea masuk dan tax holiday, namun kendalinya tetap di tangan pemerintah.
“Untuk mengelola ini pemerintah bisa menunjuk Pertamina. Apalagi Pertamina memiliki kemampuan mengelola sektor gas secara komprehensif baik di hulu maupun hilir dan salah satu produsen gas terbesar di dunia,” katanya.
Dengan demikian, kemandirian energi yang menjadi tujuan Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan tercapai.
Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan tanpa adanya infrastruktur gas, tidak mungkin ekspor bisa dikurangi. Menurut dia, sebenarnya potensi penyerapan gas domestik bisa lebih besar dari saat ini. Tapi, karena infrastrukturnya tidak ada, sehingga produksi tidak terserap.
Sebelumnya, Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian Harjanto mengungkapkan, kunci pengembangan industri manufaktur ialah ketersediaan bahan baku dan pasokan energi. Namun sayang, ketersediaan gas belum optimal untuk menopang proses produksi.
"Keramik adalah salah satu industri yang bergantung pada gas. Dari data yang ada, mereka terpenuhi, tapi itu dalam kondisi saat ini. Sementara petrokimia, besi baja, fero steel banyak yang kurang," ujarnya.
Direktur Industri Kimia Dasar Kemenperin Muhammad Khayam mengungkapkan, dari kebutuhan gas bumi sekitar 2.000 million standard cubic feet per day (mmscfd), sekitar 1.200 mmscfd merupakan kebutuhan industri pupuk dan petrokimia. Sekitar 800 mmscfd dipakai untuk industri lainnya, seperti baja, tekstil, atau sarung tangan karet.