TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Penerapan sistem premi berdasarkan tingkat kesehatan bank, atau disebut premi diferensial, tampaknya tidak akan terealisasi dalam waktu dekat. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan, pemerintah belum akan mengubah ketentuan premi yang berlaku saat ini.
Sebelumnya, LPS mengusulkan rancangan premi diferensial. Bagi bank kelompok 1, LPS berencana mematok tarif iuran 0,1% dari raihan dana pihak ketiga (DPK) setiap tahun. Adapun, bank kelompok 2 diwajibkan membayar premi 0,15%. Begitu seterusnya, hingga bank kelompok 5 membayar premi 0,3%.
Pada saat ini, LPS mengutip besaran premi yang sama terhadap semua kelompok bank. Jumlahnya mencapai 0,20% terhadap total DPK. "Sepertinya, pemerintah belum akan mengubah ketentuan premi. Premi diferensial itu domain pemerintah," ujar Sekretaris LPS Samsu Adi Nugroho, Minggu (23/11). Meski begitu, dia belum memastikan apakah usulan LPS batal atau tidak lantaran masih menunggu pemberitahuan formal dari pemerintah.
Sambil menunggu kejelasan sikap pemerintah, LPS sedang mengkaji rasio kutipan denda terkait pembayaran premi terhadap bank yang membandel dan tidak patuh pada sistem premi diferensial. Kriteria pemeringkatan risiko tersebut, lanjut Samsu, sudah mencakup aspek kualitatif dan kuantitatif terhadap rasio keuangan masing-masing bank.
Meski demikian, LPS juga akan mengadopsi sistem pemeringkatan berbasis risiko atau biasa disebut risk based bank rating (RBBR). Bila tidak ada halangan, LPS akan mengadopsi 35% RBBR untuk memeringkat tingkat risiko bank, dan melakukan pembahasan bersama industri.
Edy Kuntardjo, Direktur Utama Bank Ina Perdana menjelaskan, bank-bank kecil sebenarnya sejak awal sudah tidak setuju dengan pemberlakuan kebijakan premi diferensial. "Premi yang diberlakukan saat ini terhadap total dana saja sudah memberatkan," katanya.
Lebih celaka lagi, kata Edy, pengenaan premi diferensial yang diumumkan secara terbuka kepada masyarakat akan berdampak serius bagi reputasi dan kepercayaan masyarakat terhadap masing-masing bank. Makanya, Edy menyarankan, penilaian tingkat kesehatan dan tingkat risiko diserahkan saja kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).