TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPP Demokrat, Khotibul Umam Wiranu, meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) realistis dalam merencanakan pembangunan pelabuhan internasional di Cilamaya.
"Terlepas soal teknis MoU (memorandum of understanding) dengan Jepang, Menhub harus realistis dari kajian ekonomi maupun dampak serta kerugian yang ditimbulkan dari pembangunan ini," paparnya, Sabtu (29/11/2014).
Disamping itu, menurut Umam, dalam memilih lokasi pembangunan pelabuhan internasional, Kemenhub harus menanggalkan ego sektoralnya.
"Kajian dari seluruh departemen kemaritiman serta Angkatan Laut, khususnya kajian Alur Laut Kemaritiman Indonesia (ALKI) harus diperhatikan," tuturnya.
ALKI, kata Umam, sudah punya kajian kemaritiman, termasuk tempat yang layak untuk pelabuhan internasional.
"Pembangunan itu penting, tapi perlu diminimalisir dampaknya. Memang perlu investor dari luar, sejauh tidak merugikan, pembangunan kemaritiman itu perlu," katanya.
Sementara Pakar Pangan yang juga tokoh Katolik Karawang, Y Susanto, menyesalkan kebijakan Pemkab Karawang yang menurutnya tidak memiliki grand design pembangunan. Sehingga saat ini masyarakat Karawang banyak mengalami shock culture akibat industrialisasi yang massif tanpa mampu memproteksi masyarakatnya yang berkultur agraris dan nelayan.
"Proteksi terhadap lahan pertanian di Karawang sangat lemah. Intervensi industri manufaktur dan otomotif sangat tinggi terhadap kebijakan pemerintah. Sementara masyarakatnya tidak dipersiapkan dari segi pendidikan maupun keterampilan kerja," ucapnya.
Rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya, menurut Susanto, akan semakin memarginalkan masyarakat petani dan pesisir di Karawang.
"Saya melihat pemerintah tidak punya grand desain pembangunan. Alih fungsi lahan pertanian yang masif di Karawang telah menghabiskan ribuan hektare lahan pertanian. Penyusutan lahan dari 94 ribu hektare menjadi 90 ribu hektare dalam lima tahun terakhir, membawa banyak bencana. Dari banjir sampai lemahnya ketahanan pangan," ujarnya.
Meski secara pendapatan sebagian masyarakat Karawang tidak mengalami ganguan yang signifikan, karena para buruh tani kemudian beralih menjadi buruh pabrik, namun hal itu hanya terjadi pada sebagian masyarakat yang memang mendapat pendidikan selaras dengan kualifikasi industri.
"Tapi shock culture telah menggejala secara masif karena perpindahan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Saat ini masyarakat lokal Karawang sudah terpinggirkan. Apalagi jika menghadapi agenda Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 mendatang, di mana persaingan semakin ketat karena datangnya pekerja dari berbagai Negara," imbuhnya.
Ia berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat dan tidak hanya melihat keuntungan sesaat. Sebab jika tidak dilakukan kajian mendalam, pembangunan Pelabuhan Cilamaya bisa melahirkan konflik sosial yang krusial.