TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat ekonomi dari Koalisi Anti Utang Dani Setiawan mengatakan bahwa cara Pemerintah mengelola Pertamina sudah sejak lama tidak berlandaskan pada ideologi.
Padahal seharusnya pemerintah bisa mengandalkan Pertamina untuk mengamanahkan UUD 1945 sekaligus mengemban visi misi daulat energi.
Seperti tercantum dalam pasal 33 bagaimana Negara bisa memanfaatkan sebesar-besarnya kekayaan alam tanah air untuk kesejahteraan rakyat dan bangsa.
"Nah seharusnya orang yang memimpin sektor energi kita ini juga haruslah orang yang memahami betul ideologi itu. Memenuhi kualifikasi itu untuk mengemban ideologi di BUMN termasuk Pertamina," kata Dani dalam diskusi terbuka di Jakarta, Minggu (7/12).
Dirinya juga mengomentari posisi Direktur Utama Pertamina yang saat ini dijabat oleh Dwi Soetjipto yang juga merupakan mantan Direktur Utama Semen Indonesia.
"Sementara itu saat ini yang menjadi Dirut pertamina atau perusahaan-perusahaan energi mayoritas adalah orang-orang yang hanya memiliki kemampuan manajerial," ujarnya.
Pihaknya mengkhawatirkan hal-hal semacam ini akan berpengaruh pada operasional perusahaan plat merah terutama Pertamina karena Pak Dwi seorang yang berlatar belakang akuntan, menteri ESDM Sudirman Said juga akuntan sampai Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi juga akuntan.
"Jadi pikirannya untung rugi aja, nasionalisme sih urusan nomor dua ratus. Bukan saya menghina profesi akuntan. Tapi ilmu akuntansi itu kan ada ideologinya dalam teori kapitalisme," ungkapnya.
Ditempat yang sama, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra mengingatkan kepada Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto agar tidak gegabah untuk menerbitkan hutang baru. Pasalnya, hutang Pertamina saat ini sudah mencapai lebih dari Rp280 triliun.
"Seharusnya ini menjadi warning bagi direksi baru bahwa sebelum melangkah lebih jauh terhadap proses-proses pembentukan hutang baru yang semakin membuat Pertamina semakin tidak berdaulat karena banyak dipengaruhi asing," kata Faisal.
Seharusnya, kata dia, Dwi Soetjipto menjelaskan dulu kemana alokasi hutang sebelumnya, karena kita tahu sebelumnya hutang itu dikatakan akan digunakan untuk membiayai akusisi dan merger di beberapa negara. Akan tetapi, hasilnya nihil.
"Seperti di Australia, itu fail. Di Vietnam, Libya, Venezuela itu gagal semua. Di Malaysia, bagaimana produksinya tidak memenuhi target. Artinya, jelaskan dulu itu semua sebelum mengambil langkah lebih lanjut proses pembentukan hutang baru," ujarnya.