TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah kebijakan Kabinet Kerja Jokowi di bidang pangan, termasuk tentang rencana penghapusan program beras untuk rakyat berpenghasilan rendah (Raskin) diprotes sejumlah kalangan.
Rencana penghapusan raskin dinilai melanggar enam pilar kedaulatan pangan yang telah dirumuskan organisasi petani sedunia via Campesina pada International Forum for Food Sovereignty di Nyéléni, di Mali tahun 2007 lalu.
Peneliti Mantasa, sebuah lembaga yang bergerak di isu keanekaragaman hayati untuk kedaulatan pangan, Hayu Dyah menduga adanya sesat pikir sejumlah kementerian, tentang Kedaulatan Pangan yang selama ini sering dikampanyekan oleh Jokowi.
“Kami prihatin dengan pemahaman tentang kedaulatan pangan di kalangan pejabat. Menyedihkan sekali. Kalau dilihat dari enam pilar kedaulatan pangan via Campesina, kebijakan (penghapusan raskin dan pertanian) ini kok aku rasa lemah sekali ya. Ini bukan cara membuat rakyat berdaulat, namun malah semakin membuat rakyat bergantung. Bergantung pada pasar, bergantung pada pemerintah,” paparnya, Senin (29/12/2014).
Dyah juga mengaku kecewa dengan pola kebijakan Jokowi yang cenderung menguntungkan para elite dan konglomerat, dan cenderung menyengsarakan rakyat. “Skema berbagai kartu sakti itu, sudah terlihat itu untuk kepentingan perbankan. jadi kedaulatan pangan yang selama ini mereka gembor-gemborkan sama sekali bukan kedaulatan pangan, tapi kedaulatan perbankan, kedaulatan perusahaan pupuk, kedaulatan pemerintah,” tuturnya.
Ia pun menyinggung paradigma swasembada pangan Kabinet Jokowi yang cenderung terjebak pada prinsip industrialisasi pertanian dengan mengabaikan pentingnya pertanian organik.
“Semuanya hanya paradigma lama, menggenjot produksi demi memenuhi kebutuhan pangan. tapi bagaimana caranya tidak dijelaskan dengan jelas, khawatirnya jatuhnya ya ke subsisdi pupuk kimia, pestisida, benih hibrida dan semacamnya. Kami titip pesan ke pak Jokowi, mohon dikaji kembali arti dari kedaulatan pangan. swasembada pangan berarti rakyat mendapatkan makanan mereka dengan bermartabat. jadi adalah kewajiban pemerintah juga untuk mengusahakan rakyatnya mendapatkan pangan dengan bermartabat,” tuturnya.
Sementara Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kebumen, Jawa Tengah, Sutarto mengaku kecewa pada Pemerintahan Jokowi, yang terkesan hanya ingin beda dari pemerintahan sebelumnya, sehingga semua kebijakan era sebelumnya diubah semena-mena, tanpa kajian mendalam.
“Mestinya, dicoba dulu kebijakan lampau yang memang masih baik bias dilanjutkan.Kalau mau diubah kan bias pada masa perubahan APBN. Soal penghapusan Raskin ini, saya melihatnya begitu. Pemerintah tidak mengkaji bahwa kalau urusan beras direcokin, negara bisa ribut. Urusan pangan ini persoalan rawan, loh,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, konversi Raskin ke e-money juga bisa melahirkan kekisruhan baru. Karena selama ini, dalam mekanisme pembagian Raskin, ada semacam kesepakatan umum di sebagian masyarakat penerimanya untuk saling berbagi dengan warga lain yang tidak terdata dan tidak memperoleh jatah Raskin.
“Kalau e-money, belum tentu masyarakat penerimanya mau berbagi dengan warga lain yang senasib. Selama ini, Raskin meski penerimanya sudah ditentukan, tapi masyarakat penerimanya mau berbagi dengan sadar,” paparnya.