TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pengaturan kegiatan usaha migas baik di hulu maupun di hilir terlalu longgar. Akibatnya, memberi ruang bagi usaha yang tidak sehat dan memberi celah bagi mafia untuk bermain memanfaatkan ruang yang dibiarkan longgar tersebut.
Pemerintah sebagai regulator dan juga badan pengawas harus bertanggungjawab terhadap penyimpangan akibat kebijakan yang tidak ketat.
Demikian persoalan yang mencuat dalam diskusi bertajuk ‘Outlook gas 2015:..yang diselenggarakan oleh Editor Energy and Mining Society (E2S), di Jakarta, Rabu (7/1/2015).
Hadir dalam seminar tersebut, Achmad safiun, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Satya Widya Yudha, Wakil Ktua Komisi VII DPR, Firlie Ganinduto Wakil Ketua Hulu Migas Kadin dan Pri Agung Rakhmanto, Direktur Reforminer Institute.
Pri Agung Rakhmanto mengatakan, akibat longgarnya aturan tersebut, sehingga penetapan alokasi gas bisa berada di pihak yang sebenarnya tidak berhak. Praktik jual beli gas menjadi tidak sehat dan berujung konsumen yang harus menanggung beban. Dalam semua level kebiajakan, baik Undang-Undang,Peraturan Pemerintah maupun aturan pelaksana seperti Permen pun masih membiarkan celah dan kelonggaran.
Dalam persyaratan usaha hilir misalnya, seperti dijelaskan dalam peraturan Menteri nomor 7 tahun 2005, hanya mengatur bahwa penentuan kegiatan hilir dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal teknis dan badan usaha diharuskan memnuhi syarat administratif dan teknis. Dalam persyaratan teknis, diebutkan adanya studi kelayakan, rencana studi lingkungan dan sebagainya.
“Sampai di level Permen saja, saya melihat adanya kelonggaran. Siapapun badan usaha atau koperasi yang secara administratif bisa memenuhi ketentuan ini relatif bisa masuk dan bisa melakukan kegiatan usaha hilir. Tidak ada persyaratan harus punya infastruktur atau kewajiban membangun infrastruktur. Persyaratan teknis tidak cukup ketat,” demikian terang Pri Agung.
Berdasarkan Undang-Undang Migas nomor 22 tahun 2001, kegiatan usaha hulu migas meliputi eksplorasi dan eksploitasi sementara untuk kegiatan hilir, terdiri dari pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.
Kegiatan usaha hulu dan hilir, dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, Koperasi maupun Badan Usaha swasta. Untuk badan usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha hulu, dilarang melakukan kegiatan hilir begitu juga sebaliknya, badan usaha yang melakukan kegiatan usaha hilir, tidak dapat melakukan kegiatan hulu, sebagaimana termaktub dalam pasal 10 UU nomor 22/2001 tersebut.
“Untuk penetapan alokasi gas, masuk dalam ranah hulu. Kewenangannya berada di Kementrian ESDM dengan pertimbangan dan usulan badan pelaksana yaitu SKK Migas,” demikian imbuhnya
Hal yang sama juga terjadi di hulu, tidak ada persyaratan yang cukup ketat siapa yang berhak mendapatkan wilayah kerja migas. Akibatnya, banyak terjadi WK migas yang sudah ditender, dijual lagi oleh pemenang tender dan tidak dilakukan kegiatan lanjutan baik eksplorasi maupun eksploitasi, komitmen dan tanggungjawab tidak dijalankan.
“Tidak semua yang bermain adalah betul-betul pemain real di hulu. Pengaturan yang tidak ketat ini, memberi peluang kepada mereka yang tidak kompeten pun bisa mendapatkan wilayah kerja migas,” urainya.
Maka, tidak salah, fenomena yang terjadi di industri migas seperti yang disampaikan Menteri ESDM adalah siapa yang dekat dengan kekauasaan akan mendapatkan peluang itu, baik di hulu maupun hilir. “karena memang aturan yang tidak ketat itu,” imbuhnya.
Hal yang sama juga disampiakan Firlie Gandinduto. Celah yang ada di regulasi, menjadi pintu bagi mafia untuk masuk. Sementara badan pengawas seperti SKK Migas yang melakukan pengawasan untuk kegiatan hulu misalnya, tidak cukup jelas tugasnya dan cenderung hanya reinkarnasi dari lembaga sebelumnya yang dibubarkan, BP Migas. “Yang berubah hanya nama dan logonya saja, selebihnya tidak ada,” ungkap Firlie.
Bahkan menurut Direktur Utama Duta Firza ini, lembaga seperti SKK Migas harusnya bersahabat dengan pelaku usaha hulu migas. Namuan kenyataaanya, pimpinan SKK cenderung tertututp dan susah ditemui. "Jadi regulasinya sudah longgar, lembaganya juga tidak terbuka dan friendly dengan pelaku usaha,” ungkapnya.
Selain itu, imbuhnya ada logika yang tidak benar dalam tata kelola migas di Indonesia. Ia mencontohkan, BPH migas yang mengatur kegiatan hilir migas tidak memiliki komoditas, sehingga ketika terjadi persoalan BBM di beberapa wilayah di Indonesia, BPH Migas tidak dapat berbuat dan Pertamina dijadikan sasaran kemarahan.
Di Hulu pun demikian, perizinan dan penetapan wilayah kerja migas dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Migas. Tetapi Dirjen Migas tidak melakukan pengawasan. Fungsi pengawasan menjadi tanggungjawab SKK Migas. Logika birokrasi penentu kebijakan yang salah ini juga turut memberi andil bagi mafia untuk memanfaatkannya.
“Tata kelola Migas, khususnya gas ini bukan barang baru. Sejak beberapa tahun lalu sudah terjadi. Tetapi sampai sekarang pun tetap terjadi. Harus diatur dalam tata kelola gas naional dengan regulasi yang jauh lebih ketat dan memberikan kepastian bagi investor,” ungkapnya.
Kelonggaran dan ketidakpastian hukum ini menyababkan investor enggan untuk melakukan investasi melakukan kegiatan eksplorasi untuk menemukan sumber-sumber migas baru. Ibar bermain bola, ia menganalogikan, para pemain akan turun ke lapangan tentu akan memperhatikan kondisi lapangan, siapa pengadil bagaiman aturan yang dipakai dalam permainan tersebut.
“Kalau mau main sepakbola tetapi aturannya pakai aturan volly atau basket kemudian dipimpin oleh wasit yang tidak kompeten, tentu pemain akan enggan untuk turun bermain,” demikian ia menganalogikan.
Sebagai regulator dari kegiatan migas di Indonesia, pemerintah yakni Kemnetrian ESDM dan juga lembaga pengawas seperti SKK Migas ataupun BPH Migas harus bertanggungjawab terhadap kekacauan dalam tata kelola migas nasional. Jika aturan dan regulasi dibuat dengan baik dan benar, celah bagi mafia pun tidak ada.
Pelaku usaha sepenuhnya tidak bisa disalahkan. Karena setiap kegiatan yang dilakukan oleh Kontraktor Migas maupun kegiatan niaga melalui pengawasan lembaga pemerintah baik kegiatan di hulu maupun hilir migas.
Karena itu, kunci dan harapan untuk melakukan perbaikan tata kelola migas nasional adalah melalui revisi undang-undang migas. Baik Pri Agung maupun Firlie sepakat soal itu. Bahwa, slah satu kunci untuk meperbaiki tata kelola dan usaha migas di Indonesia melalui revisi Undang-Undang Migas.
Hanya saja, harapan itu mungkin tidak bisa terwujud dalam waktu dekat. Satya W Yudha, anggota Komisi VII DPR mengatakan bahwa, revisi Undang-undang Migas yang diusulkan oleh Komisis VII melalui hak angket pada periode 2009-2014 lalu, harus kembali ke tahap awal.
Seharusnya, revisi Undang-Undang Migas diparipurnakan oleh DPR periode 2009-2014. Namun sampai masa jabatan DPR lalu berakhir, ususlan revisi kandas di badan legislasi. Sesuai aturan, undang-undang yang belum sempat diparipurnakan, maka pada periode berikutnya, harus kembali ke tahap awal.
“Saya juga baru tau kalau ada aturan seperti itu. Akhirnya sekarang, kita harus memulai lagi untuk membicarakannya.
Namun demikian ia beraharap, jika usulan sebelumnya murni datang dari Komisi VII, maka sekarang ini, ususlan itu bisa datang dari pemerintah melalui Kementrian ESDM. Sehingga dengan demikian prosesnya akan lebih cepat. Apalagi, Tim Reformasi tata kelola Migas yang dibentuk pemerintah dalam tugasnya juga akan memberikan masukan terhadap perbaikan Undang-Undang migas.
Apalagi di anggota komisis VII saat ini, beberapa diantaranya termasuk dirirnya adalah anggota lama yang sebelumnya terlibat dalam pembahasan rancangan revisi Undang-Undang Migas. Jika ususlan bisa datang dari pemerintah dan disinergikan dengan pemahaman beberapa anggota DPR yang sudah terlibat sebelumnya, ia berharap bisa lebih cepat, meski harus memulai dari awal lagi.
“Saya pikir, dengan berbagai kondisi yang terjadi di dunia migas dan tata kelolanya, sepertinya, Undang-Undang Migas berikutnya akan lebih tebal, karena kita harus memuat semuanya secara detail. Jika tidak, persoalan yang dihadapi saat ini akan kembali terulang.
Lebih jauh, satya juga sepakat bahwa, pemerintah sebagai pemegang kendali terhadap semua kegiatan migas harus bertanggungjawab. Tim reformasi tata kelola migas yang diketuai Faisal Bari, hanyalah konsulatan pemerintah dalam memperbaiki tata kelola migas. Tanggungjawab utamanya tetap berada pada pemerintah.
“Kalau tim (reformasi Migas) yang diketuai pak Faisal Basri kan hanya konsultan pemerintah. usianya hanya 6 bulan. Tetapi tanggungjawab sepenuhnya tetap pada pemerintah yakni Menteri ESDM,” ungkapnya.
Achmad Safiun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), tidak menampik adanya kelaonggaran dalam kebiajakan, pelaku usaha pengguna gas bumi harus menanggung akibatnya.Dampak yang dirasakan adalah harga yang terbilang sngat tinggi. Ada perbedaan yang sangat jauh antara harga beli yang dibeli oleh penjual gas bumi dan yang dibeli oleh industri hilir penggunanya. “Kenaikan harganya sangat tidak wajar,” ungkapnya.
Safiun bahkan membandingkan dengan harga gas di beberapa negara tetangga. Bahkan Siangpaura yang tidak memiliki sumber gas, meski membeli dari pelaku usaha dengan harga tinggi, namun ketika dijual kepada industri pengguna akhir di negaranya jauh lebih murah. Karena pemerintah di Singapura, ingin meningkatakan nilai tambah dari kehadiran industri di negara tersebut.
Karena itu ia beraharap pemerintah ke depan harus turun tangan memikirkan harga gas bumi yang dianggap terlalu tinggi dan tidak wajar itu. Keterlibatan pemerintah, bisa melalui aturan yang lebih tegas dan ketat serta keikutsertaan langsung pemerintah dalam penentuan harga yang wajar dan sesuai.
“Poinnya, pemerintah harus turun tangan dan ikut membantu. Kalau tidak, industri yang menggunakan gas bumi akan gulung tikar, apalagi memaasuki masyarakat ekonomi Asean tahun ini,” katanya lagi.