TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi pengusaha dan pengamat menilai Pengadilan Pajak perlu segera berbenah secara menyeluruh untuk lebih menjamin adanya kepastian hukum dan bisa diperoleh keadilan bagi wajib pajak (WP).
“Mestinya putusan pengadilan pajak harus benar dan adil karena menyangkut dunia usaha dan investor yang diharapkan mendongkrak dan menjaga kelangsungan perekonomian di Indonesia. Tapi tampaknya itu masih sekadar harapan,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Fiskal, Moneter, dan Publik Hariyadi Sukamdani, Senin (26/1/2015).
Ia mengungkapkan, ada bias sejumlah faktor pada para hakim Pengadilan Pajak dalam memutus banding WP yang mencari keadilan. Tak usah kasusnya Asian Agri, kata dia, kasus yang biasa saja setelah kasus Gayus Tambunan trennya WP cenderung dikalahkan.
“Sekarang lebih banyak WP dikalahkan ketimbang yang dimenangkan. Saat ini cenderung putusan tidak menguntungkan bagi WP. Para hakim Pengadilan Pajak sepertinya takut dianggap ada kongkalikong kalau memutus untuk memenangkan WP. Itu yang saya rasakan,” tuturnya.
Padahal, lanjut Hariyadi, sebaiknya pengadilan pajak dalam situasi dalam sorotan ini harus bisa bersikap fair. Hakim, tambahnya, berdiri pada posisi yang netral. Kalau dilihat kondisinya sekarang dari banyaknya keluhan anggota Kadin, tegas dia, Pengadilan Pajak sering tidak netral.
Hal senada diingatkan Kepala BKPM Franky Sibarani. Menurutnya, sering ada proses hukum bagi kalangan investor yang harus dihargai di negara ini. Sejauh perlakuannya fair dan putusan sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, menurutnya, tidak ada masalah untuk iklim investasi.
“Iklim investasi memang membutuhkan kepastian hukum, termasuk saat berurusan dengan pengadilan pajak. Tapi bukan berarti bahwa ketentuan yang lain diabaikan,” ujarnya.
Ia menambahkan soal hukum yang fair dan sesuai ketentuan ini sering menjadi pertimbangan utama investor untuk merealisasikan rencana investasinya.
Usul Kadin
Terkait apa yang dilakukan lembaganya terkait kondisi di Pengadilan Pajak, Hariyadi mengatakan Kadin yang jelas sudah minta agar proses seleksi hakim pengadilan Pajak itu harus bisa memberikan kesempatan lebih luas. “Jangan hanya mantan atau pensiunan pegawai Ditjen Pajak yang bisa masuk menjadi hakim,” ucapnya.
Sedangkan Guru Besar Hukum Pajak Universitas Hasanudin, M Djafar Saidi, dalam kesempatan terpisah mengatakan Pengadilan Pajak harus membenahi sumberdayanya hakimnya. Pengadilan Pajak saat ini, lanjutnya, kadang tidak memberikan suatu keadilan sesuai harapan meskipun ada kepastian hukum.
“Mestinya yang diprioritaskan adalah memberikan keadilan kepada WP. Hakim seharusnya bertindak independen dan tidak memihak pada pemerintah,” ucapnya
Ia menambahkan, adanya ironi bahwa hakim pajak banyak berasal dari kalangan mantan fiskus yang jelas-jelas sudah dianggap tidak lagi diperlukan oleh negara. Tegasnya, lanjut Hariyadi, Pengadilan Pajak dilihat lagi netralitasnya. Kadin, kata dia, menyarankan Pengadilan Pajak menjadi independen penuh: tak usah ada urusan terkait dengan pembinaan administrasi dari Kementerian Keuangan (Kemekeu) dan teknis hukum oleh Mahkamah Agung (MA) yang membuatnya tidak bisa bersikap fair.
Apalagi, tambah dia, yang menjadi hakim Pengadilan Pajak adalah mantan orang Ditjen Pajak sehingga keputusannya tak pernah adil. “Pengadilan Pajak independen sepenuhnya itu pendekatan ekstrim. Tapi kami juga takut mafia peradilan kian merajalela. Jadi serba bingung menghadapi yang namanya Pengadilan Pajak,” tuturnya.
Ia menyatakan, hal lain yang diusulkan Kadin adalah evaluasi atas proses pengajuan keberatan ke Ditjen Pajak sebelum ke Pengadilan Pajak. Di proses ini kami minta dilihat lagi, lewat semacam eksaminasi: keberatan yang ditolak seperti apa dan yang diterima seperti apa. “Kalau semua keberatan ditolak, lembaga keberatan tak usah ada,” ujarnya menambahkan usul ini sudah disampaikan sejak era Menkeu Agus Martowardoyo.