TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Harga minyak jatuh ke posisi terendah enam tahun di perdagangan New York pada Senin (26/1/2015) waktu setempat (Selasa pagi WIB), meskipun ada peringatan dari OPEC bahwa harga bisa melonjak ke 200 dollar AS karena penyusutan investasi dalam kegiatan eksplorasi.
Harga emas hitam ini bergejolak di pasar yang khawatir dengan terpilihnya pemerintah baru sayap kiri, anti program penghematan di Yunani. Selain itu pasar juga merespons serangan roket di kota pelabuhan Mariupol, Ukraina, yang dituduh dilakukan oleh pemberontak pro-Rusia.
Patokan AS, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret di New York Mercantile Exchange, kehilangan 44 sen menjadi berakhir di 45,15 dollar AS per barel dibandingkan dengan penutupan Jumat (23/1/2015).
Di London, minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Maret turun 63 sen menjadi menetap pada 48,16 dollar AS per barel.
Menurut laporan, Sekretaris Jenderal Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) Abdullah El-Badri memperingatkan bahwa kemunduran dalam investasi eksplorasi dan produksi minyak karena harga turun hampir 60 persen sejak Juni, bisa mengakibatkan keterbatasan produksi dalam beberapa tahun mendatang, memaksa harga melonjak hingga mencapai 200 dollar AS per barel.
Tapi dia tidak menempatkan waktu pada peringatan itu, dan para analis mengatakan sudah ada sedikit tanda bahwa itu akan terjadi. "Kami sudah melihat bahwa skenario hipotetis bullish terjadi pada titik ini," kata Tim Evans dari Citi Futures.
"Terutama mengingat lead time yang lebih pendek untuk investasi minyak serpih (shale oil), kami berpikir akan ada sedikit pasokan tersedia pada tingkat yang secara signifikan lebih rendah."
Terpilihnya partai Syriza berkuasa di Yunani memastikan lebih banyak masalah untuk zona euro dan kesepakatan-kesepakatan negara itu dengan para kreditur.
Serangan terhadap Mariupol, yang berada di antara Rusia dan Krimea yang diduduki Rusia, bisa mengakibatkan sanksi Barat yang lebih keras terhadap Moskow.
"Ini berarti lebih banyak gejolak dan berkurangnya permintaan untuk minyak," kata Phil Flynn dari Price Futures Group.(Erlangga Djumena)