News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Duet Jokowi JK

Dikritik, Kebijakan Ekonomi 100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK

Penulis: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden RI Joko Widodo bersiap menaiki heli yang akan diterbangkan menuju Pelabuhan Kualatanjung, Kabupaten Batubara, di Pangkalan Udara (Lanud) Suwondo, Medan, Sumatera Utara, Selasa (27/1/2015). Dalam kunjungan kerjanya ke Sumut, Presiden Jokowi meresmikan proyek pembangunan Terminal Multipurpose Pelabuhan Kualatanjung, proyek diversifikasi produk (ingot menjadi billet) dan pengembangan pabrik peleburan alumunium PT Inalum, pencanangan Kawasan Industri Terpadu Kualatanjung-Sei Mangkei, pembangunan Gardu induk Sei Mangkei, pembangunan pabrik minyak goreng di Sei Mangkei, serta pencanangan operasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei. TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam 100 hari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) nampaknya belum memberikan perubahan yang siginifikan di berbagai hal, terutama di bidang ekonomi.

Pemerintah dinilai hanya rajin melakukan propaganda penghematan anggaran tanpa ada itikad baik untuk memperbaiki keadaan.

"Pemerintah nampaknya hanya getol cuma propaganda untuk kepentingan penghematan, namun dalam nota keuangan RAPBN perubahan 2015, pemerintah memangkas habis BBM jenis prenium," kata Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU), Dani setiawan kepada wartawan di Jakarta, Rabu (28/1/2015).

Alasan pemerintah dalam subsisdi BBM telah menjadi beban APBN dan sekaligus membatasi keuangan negara untuk membiayai kegiatan lain yang lebih produktif.

Anehnya pemerintah tidak menganggap pembayaran utang sebagai komponen yang membebani anggaran dan membatasi kemampuan negara untuk menjalankan kewajiban konstitusi, dan beban pembayaran utang tersebut akan terus mengerogoti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hingga tahun 2030.

"Padahal beban pemerintah dalam membayar utang termasuk bunga obligasi rekapitalisasi dari bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI)," jelasnya.

Hingga akhir tahun 2012, Dani membeberkan pemerintah harus mengalokasikan dari APBN sekitar Rp. 70 hingga 80 triliun setiap tahunnya untuk membayar utang tersebut.

"Jadi dengan besaran alokasi APBN untuk membayar bunga obligasi rekap tersebut, jika dihitung tahun 2013 hingga 2030 tak kurang mencapai angka Rp 1.360 triliun," bebernya.

Hal ini, apabila dikonversi pembayaran bunga obligasi direkap tersebut bisa digunakan negara untuk membayar premi 100 juta warga miskin penerima BPJS kesehatan selama 3 tahun.

Oleh karena itu pihaknya meminta agar pemerintah harus melakukan transfaransi dalam Nota Keuangan RAPBN perusahaan 2015 dengan membuka status obligasi rekap, termasuk serangkaian rekayasa surat utang seperti Reprofiling (diperpanjang) hingga 2043.

"Dengan transparansi itu pula maka yang terlihat dalam NK RAPBN perubahan 2015 tidak hanya beban bunga SUN, tapi juga merinci bagian yang berasal dari obligasi rekap yang merupakan beban akibat kejahatan ekonomi dalam mega skandal BLBI," ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini