News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pertamina Layak Jadi 'Single Aggregator' Gas

Penulis: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Teknisi memeriksa tabung bahan bakar gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) yang dipasang pada truk tangki pada pengenalan konversi bahan bakar gas untuk transportasi industri di kompleks perkantoran Pertamina di Jakarta, Rabu (10/12/2014). Truk berbahan bakar LNG sudah diuji coba untuk angkutan pertambangan dengan hasil lebih ekonomis dibandingkan bahan bakar minyak dan lebih ramah lingkungan. KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertamina layak menjadi single aggregator atau agregator tunggal dalam mengelola gas dari hulu ke hilir. Selain masalah kapabilitas dan pengalaman, juga karena faktor lain yang tak kalah penting, yakni posisi Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN).

“Jadi, kalau menyebut siapa yang seharusnya menjadi aggregator gas, tentu Pertamina,” tegas Muhammad Budyatna, Guru Besar Universitas Indonesia, Senin (3/22015).

Secara lugas, Budyatna merujuk Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Menurutnya, pasal tersebut sudah sangat jelas. Sehingga menjadikan Pertamina sebagai pengelola gas dari hulu ke hilir, merupakan amanah UUD 1945 yang tidak boleh dilanggar.

Yang penting, lanjutnya, adalah masalah kepemimpinan, transparansi, dan akuntabilitas. Termasuk, jangan ada intervensi di tengah jalan. Misalnya, tiba-tiba kewenangan Pertamina sebagai aggregator gas disusupi kepentingan lain. “Jangan sampai ada ‘penumpang gelap’ yang membonceng. Jangan sampai secara mendadak ada pihak lain yang turut menggerogoti kewenangan Pertamina,” lanjutnya.

Bukan tanpa alasan, Budyatna, mencemaskan “penumpang gelap” tersebut. Dia mencontohkan, pengelolaan minyak di Blok Cepu, yang akhirnya 55 persen dikuasai pihak swasta, padahal semula pemerintah menetapkan bahwa 85 persen dikelola pemerintah. “Lantas, mengapa tiba-tiba di tengah jalan kewenangan pihak non pemerintah melonjak? Hal-hal seperti ini yang tidak boleh lagi terjadi, termasuk dalam mengelola gas dari hulu ke hilir nantinya,” jelas Budyatna.

Bukan sekali ini saja, usulan agar Pertamina menjadi single aggregator gas mengemuka.

Sebelumnya, pengamat kebijakan publik Sofyano Zakaria juga menyuarakan hal serupa. Menurut Sofyan, saat ini memang hanya Pertamina yang memiliki kemampuan mengelola sektor gas secara komprehensif di Indonesia. Maka, dengan menjadikan Pertamina sebagai single aggregator gas, kemandirian energi yang menjadi tujuan Pemerintahan Jokowi, akan tercapai.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini