TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu, menyayangkan penolakan kucuran Penyertaan Modal Negara (PMN) terhadap bank BUMN.
Menurutnya bank BUMN tidak memiliki cukup modal untuk ekspansi dalam menyalurkan dana kredit, sehingga imbasnya perbankan asing akan semakin menguasai pangsa pasar di Indonesia.
"Kebutuhan pembiayaan amat tinggi. Jika saja PLN dan Pertamina membutuhkan uang untuk pembiayaan proyek, bank BUMN tidak akan cukup modalnya," ujar Said Didu, Kamis (5/2/2015).
Hal ini akan dimanfaatkan oleh bank-bank asing untuk memanfaatkan potensi kredit yang besar di Indonesia. Menurut Said Didu, perbankan BUMN akan kesulitan bersaing dengan asing karena kendala permodalan.
"Kalau diberikan Rp 5 triliun, perhitungannya dapat menambah kredit Rp 50 triliun. Dan sekarang, hampir semua bank kita pas-pasan modalnya," jelasnya.
Said Didu mengingatkan DPR bahwa penolakan PMN kepada Bank Mandiri akan mengurangi kapasitas pembiayaan bank BUMN sehingga potensi pembiayaan akan diambil alih oleh bank asing. Menurutnya, kapasitas modal perbankan dalam membiayai proyek-proyek pembangunan khususnya infrastruktur masih sangat minim.
Mantan Sekretaris Menteri BUMN ini juga berharap agar pemerintah tetap memiliki tekad untuk memiliki bank BUMN yang kuat untuk menghadapi MEA. Sebenarnya dengan dukungan permodalan kepada Bank Mandiri diharapkan bisa menjadi Qualified ASEAN Bank (QAB). Pasalnya, bank dari Malaysia dan Singapura tersebut sudah masuk kategori QAB.
"Mereka akan dibebaskan untuk berekspansi ke negara-negara ASEAN tanpa pembatasan sama sekali," ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Riset dan Analisa Strategis Network of Market Investor (NMI) Reagy Sukmana mengatakan ditolaknya PMN untuk Bank Mandiri membuat kesempatan Indonesia memiliki bank yang kuat di tingkat ASEAN semakin mengecil.
"Impian Bank Mandiri naik ke peringkat 7 di tingkat ASEAN menjadi mustahil," jelasnya.
Menurutnya, PMN amat dibutuhkan karena Bank Mandiri dapat mensupport pembiayaan pembangunan Infrastruktur.
"BUMN kita tidak lagi sebagai pencetak dividen, melainkan juga agen pembangunan," tambahnya.
Padahal ia optimistis bahwa Bank Mandiri sebagai bank terbesar dapat mendukung pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
"DPR harus berpandangan visioner. Bila takut dengan penggunaannya, ya pengawasannya yang harus diperketat. Bukannya malah ditolak. Ini logika yang aneh menurut saya," tuturnya.