TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Membangun pelabuhan berkelas internasional di dekat pusat industri bukan satu jaminan
pelabuhan tersebut diminati dunia pelayaran, sehingga pembangunan Pelabuhan Cilmaya harus ditinjau ulang agar nasibnya tidak seperti pelabuhan di Merak, Banten.
"Contoh pelabuhan di Merak, dulu banyak sekali pelayaran dan terakhir hanya dua. Itupun sekarang hanya satu, dan dilayani satu kapal saja. Nah itu awalnya akan menarik industri di wilayah Banten, tapi itu tidak berjalan, karena dari sisi industri, dia akan melihat ketersediaan space kapal akan ada atau tidak," kata Anang Hidayat, Senior Logistics PT GPI.
Anang menyampaikan pandangan tersebut dalam diskusi bertajuk "Kepastian Pembangunan Pelabuhan Cilamaya untuk Logistik Nasional" di Jakata, Kamis (5/3/2015). Menurutnya, membuat pelabuhan internasinal juga harus melihat ketersediaan maskapai pelayaran yang melayani rute internasinal.
Pemerintah harus mempertimbangkan hal itu karena saat ini minim maskapai tanah air yang melayani rute internasional. Padahal, untuk memiliki satu pelabuhan, keberadaan satu maskapai yang melayani seluruh rute dunia merupakan satu keniscayaan.
"Kalau melihat jalur internasional, kita tidak memiliki satu maskapai yang memberikan layanan sampai ke seluruh dunia. Dulu mungkin ada, tapi sekarang tidak ada lagi, atau nyaris tidak terdengar. Ada juga Samudra Indonesia, tetapi tidak banyak," tandasnya.
Terlebih, dunia pelayaran nasional saat ini hanya menjadi agen-agen dari perusahaan pelayaran internaional, serta feeder. Selain itu, pelayaran internasinal juga saat ini lebih memilih rute-rute yang sudah ada, seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Hongkong yang mempunyai kepastian adanya barang yang akan diangkut setelah menurunkan muatan.
"Dari sisi bisnis, tentu mereka tidak akan terlepas dari rute mana yang akan dia lalui dan berapa banyak dibawa dan diturunkan," kata Anang.
Satu pelabuhan internasional juga harus melihat komoditas yang dibawa dari luar negeri dan sebaliknya yang mempunyai karakteristik tersendiri. Menurutnya, jika material mentah (row material) bisa mungkin langsung ke Cilamaya, namun jika komoditas ritel, tetap akan memambah biaya jika dikirim ke Cilamaya.
"Ada komoditas row material, betul itu di Cilamaya, tapi ada juga ritel produk yang hampir semua itu di Jakarta ke sini, tidak akan mau ke Cilamaya. Itu beban-beban dari sisi cost ekonominya," kata Anang.
Selain itu, pelayaran internasional tentunya akan memperhitungkan barang yang akan diangkut setelah menurunkan barang. Kapal rute internasional tidak akan mau singgah di beberapa pelabuhan demi mencari barang yang akan diangkut mengingat besarnya biaya operasional.
"Pelayaran nasional dia akan melihat di mana drop kapal, tentu dia akan hitung berapa dia angkut dan berapa dia akan turun. Dia tidak akan mampu singgah di Priok, kemudian singgah lagi di Cilamaya kalau tidak ada muatan yang cukup," tandasnya.
Atas dasar itu, Anang mengingatkan rencana pembangunan Pelabuhan Internasional Cilamaya harus memperhatikan hal tersebut, terlebih di sana terdapat produksi minyak dan gas (migas).
"Yang paling rugi adalah, pelabuhan ada, Pertamina stop, terus Pelabuhan Cilamaya-nya juga tidak diminati karena pelayaran internasional tidak masuk rute itu," kata Anang.