TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Air antara PAM Jaya dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta yang dibuat pada tahun 1997 dinyatakan batal demi hukum.
Ketua majelis hakim, Iim Nurohim saat membacakan amar putusan menilai perjanjian kerjasama tersebut telah melanggar Perda DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta karena telah melalaikan kewajiban pemenuhan hak air minum bagi masyarakat Jakarta.
"Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menyatakan Perjanjian Kerjasama antara PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra batal dan tidak berlaku lagi," ujar Iim saat membacakan amar putusan, Selasa (24/3/2015).
Majelis hakim menilai kerjasama ini telah merugikan PAM Jaya dan negara.
Berdasarkan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) PAM Jaya dari diprediksi akan mengalami kerugian sebesar Rp 18 triliun jika perjanjian tetap dilaksanakan.
Kerugian ini disebabkan adanya pengalihan aset PAM Jaya, pengadaan aset dan penjualan aset yang tidak dibukukan. Hal inilah yang menyebabkan harga air di Jakarta menjadi tinggi.
"Memerintahkan tergugat untuk menghentikan swastinisasi air dan mengembalikan pengelolaan air ke Perda DKI Jakarta No 13 Tahun 1992 dan peraturan perundangan lainnya," ujar Iim di persidangan.
Dalam amar putusannya, majelis menilai para tergugat telah lalai melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta dalam wujud PKS tertanggal 6 Juni 1997 dan diperbaharui pada 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.
Selain itu, majelis hakim juga menyatakan PKS yang dibuat dan ditandatangani oleh Direktur PAM Jaya Provinsi DKI Jakarta batal demi hukum dan tidak berlaku kembali. Memerintahkan para tergugat untuk melaksanakan pengelolaan air minum di DKI Jakarta harus sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi atas air sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan budaya yang telah diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005 jo. Ketentuan Umum No. 15 Tahun 2002 Hak Atas Air Komite Persatuan Bangsa-bangsa.
"Mencabut Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 3126/072 tertanggal 24 Desember 1997 dan Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 5-684/MK.01/1997 tertanggal 26 Desember 1997," tutur Iim.
Di dalam amar putusan tersebut, majelis hakim juga menolak seluruh provisi penggugat, eksepsi para tergugat pada seluruhnya, dan menolak gugatan penggugat mengenai putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meski ada perlawanan banding atau kasasi dari para tergugat ditolak oleh majelis hakim.
Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KKMMSAJ) sebagai tergugat, Arif Maulana dari LBH Jakarta sangat mengapresiasi putusan majelis hakim tersebut yang telah mendengarkan suara rakyat dan menegakkan konstitusi.
"Kami apresiasi ke PN Jakpus yang masih mendengarkan suara rakyat. Hakim mengabulkan hampir seluruh gugatan. Ini adalah hari yang bersejarah bagi Indonesia dan Jakarta, khususnya," ujar Arif sesusai persidangan.
Menurutnya berdasarkan putusan ini negara harus dapat mengelola air dan tidak menyerahkannya kepada swasta. Ia meminta Pemprov DKI Jakarta untuk segera mengambil alih pengelolaan air dari tangan Aetra dan Palyja.
"Negara harus tunduk atas putusan ini. Sudah saat ini pengelolaan air tidak lagi berada di tangan swasta," tegas Arif.
Secara terpisah, perwakilan Pemprov DKI Jakarta, Haratua Purba menuturkan putusan majelis hakim ini sangat sesuai dengan keinginan dari Gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok).
"Putusan swastanisasi air ini sangat sejalan dengan semangat pak gubernur," ujarnya singkat saat dimintai tanggapan.
Namun sayangnya, hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari pihak Palyja maupun Aetra. Mereka memutuskan untuk segera meninggalkan ruang persidangan begitu majelis hakim selesai membacakan amar putusan. (Benedictus Bina Naratama)