TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Profesor Mashuri mengakui saat ini Bulog menghadapi tantangan yang sangat besar.
Berbagai tantangan tersebut, membuat Bulog mau tidak mau harus berjuang ekstra keras dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Mereka harus punya usaha yang lebih tinggi dan harus lebih gigih,” katanya, Sabtu (25/4/2015).
Mashuri menambahkan, setidaknya terdapat tiga hal yang membuat perjuangan Bulog lebih berat.
Pertama, karena penetapan HPP yang agak terlambat. Jika saja HPP ditetapkan sejak awal, tentu Bulog bisa lebih cepat bergerak. Kedua, adanya isu bahwa tidak boleh impor.
Menurutnya, isu tersebut sangat merugikan Bulog dan berpotensi mengundang spekulan. Dan, ketiga, adanya usulan sebelum ini tentang penghapusan raskin. “Semua kondisi tersebut sangat merugikan bagi Bulog dan berimbas sampai sekarang,” katanya.
Dalam konteks demikian, Mashuri menegaskan, bahwa pemerintah seharusnya memberi dukungan yang lebih besar kepada Bulog. Apalagi, di tengah masyarakat yang masih menghendaki kondisi harga beras stabil, bukan harga yang semata-mata ditentukan harga pasar.
Dalam kaitan itu pula, Mashuri menilai bahwa usulan Mendagri Tjahjo Kumolo bahwa Bulog akan dibubarkan, sebagai usulan yang tidak masuk akal.
“Itu kan ngalor ngidul. Ingin ke utara, tetapi berjalan ke selatan. Inginnya harga stabil, namun malah Bulog akan dibubarkan. Bagaimana mungkin. Kan Bulog yang memiliki peran dalam stabilisasi harga,” kata Mashuri.
Terkait besarnya tantangan Bulog, dibenarkan Ketua Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) lampung, Lampung Medi Istianto. Begitu pun, Medi justru memuji berbagai upaya Bulog dalam menghadapi tantangan tersebut.
Menurut Ketua Perpadi Lampung Medi Istianto, dengan harga pasar saat ini yang jauh di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Bulog tidak hanya melakukan upaya jemput bola namun juga banyak melakukan sosialisasi. Di antaranya tentang Inpres Nomor 5 tahun 2015. “Upaya yang dilakukan Bulog ini sangat luar biasa dan membanggakan,” kata Medi.
Langkah Bulog untuk mencapai target serapan padi dan gabah sendiri, menurut Medi memang sangat berat. Dengan adanya perbedaan harga tersebut, petani tentu memilih menjual kepada pembeli di luar Bulog karena Bulog tidak bisa membeli dengan harga di atas HPP. Apalagi di Lampung, misalnya, menurut Medi banyak sekali berkeliaran para spekulan yang membeli gabah dari petani dengan cara ijon.
“Kami saja yang perusahaan penggilingan merasakan benturan dengan para pembeli ijon, apalagi Bulog. Tentu kendala yang mereka hadapi lebih besar. Tetapi di tengah kondisi seperti itulah, Bulog memperlihatkan upaya yang luar biasa. Sesulit apapun tantangan yang dihadapi, mereka terus berusaha memacu penyerapan,” katanya.
Tidak hanya turun ke petani-petani, Bulog juga melakukan jemput bola hingga ke perusahaan penggilingan padi. Di sinilah, lagi-lagi Medi memberi apresiasi, karena Bulog tidak hanya bekerja sama dengan perusahaan besar, namun juga dengan penggilingan-penggilingan kecil yang memiliki peralatan dan modal terbatas.
Begitupun, Medi mengaku bahwa tidak semua beras bisa diserap Bulog. Karena sesuai Inpres Nomor 5 tahun 2015 tersebut, salah satu syarat kualitas yang harus dipenuhi adalah kadar air 14 persen. Di tengah cuaca yang tidak menentu, dimana hujan sering turun, tak jarang beras yang dihasilkan justru memiliki kadar air 15 persen-15,5 persen.
“Ini kendala buat penggilingan, karena Bulog tidak bisa menyerap beras dengan kadar air tinggi. Makanya kami berharap, ada bantuan perlatan oven untuk mempercepat proses pengeringan. Tidak usah terlalu besar, cukup yang berukuran 15-20 ton,” kata Medi.