TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyusul menguatnya isu SKK Migas dibubarkan, muncul wacana pembenahan pengelolaan energi lewat holding (penggabungan unit usaha).
Hal tersebut dikatakan Direktur Eksekutif Indonesian Resourcess Studies (IRESS), Marwan Batubara.
Menurut Marwan, ada beberapa alasan pembubaran tersebut. Pertama, pemerintah harus membentuk holding yang bersih dan berwibawa. Untuk itu, pemerintah seharusnya fokus membenahi lembaga sektor migas yang secara fakta telah benar-benar terendus dan terjerat kasus hukum. Lembaga tersebut, tak lain SKK Migas, mengacu pada maraknya kasus yang menerpa.
“Termasuk di antaranya suap yang menimpa mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini,” kata Marwan, Rabu (24/6/2015).
Kedua, menurut Marwan, karena produksi crude oil Indonesia yang saat ini juga terus mengalami degradasi, membutuhkan efisiensi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terbarukan ini. Apalagi, memasuki 2020 mendatang, lifting minyak Indonesia hanya tinggal 500.000 barel per hari (bopd).
“Bayangkan, dengan jumlah produksi siap jual tinggal 500 ribu barel, kita tidak lagi membutuhkan banyak pengelola migas. Cukup menjadikan Pertamina selaku holding, lalu SKK Migas masuk ke dalam strukturnya, maka efisiensi berjalan, fokus pengelolaan migas akan semakin baik,” ujar Marwan.
Menyangkut nasib karyawan SKK Migas, menurut Marwan tidak sulit. Pasalnya, tenaga-tenaga SKK Migas yang terampil di bidang migas bisa masuk ke dalam struktur Pertamina. SKK Migas dapat diberi porsi mengurus kontraktor asing, sementara pada tataran kebijakan dan pengendalian, porsinya diserahkan kembali kepada Kementerian ESDM.
Di sisi lain, Marwan mengatakan, pascapembubaran BP Migas yang berganti bernama SKK Migas, entitas lembaga tersebut belum merepresentasikan ketentuan konstitusi. MK mengamanatkan agar SKK Migas merupakan bagian dari perusahaan pelat merah yang mengatur kegiatan hulu migas. Namun kenyataannya, entitias lembaga ini justru cenderung berpotensi merugikan negara.
"Pasalnya, hubungan kontraktual yang dilakukan bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau operator migas nasional langsung ke negara melalui pengawasan dari Kementerian ESDM. Hubungan yang bersifat business to business itu, tidak boleh diatur negara karena menimbulkan intervensi dan cenderung berpeluang terjadinya praktik korupsi," jelasnya.
Marwan mengusulan, meski menjadi salah satu BUMN, ada baiknya SKK Migas bersatu dengan holding PT Pertamina (Persero). Sebab, Pertamina merupakan salah satu perusahaan pelat merah yang menjadi bagian dari aspek persoalan energi di dalam negeri.
"Melalui penggabungan SKK Migas ke dalam holding Pertamina, pekerja tak perlu khawatir adanya aksi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Para pekerja tetap melakukan kegiatan seperti biasa. Hanya saja kan lembaga ini menjadi badan di bawah struktur Pertamina," katanya.