News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Dukung FCTC, Kemenkeu Dianggap Lampaui Kewenangan Presiden

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pekerja melakukan proses penyaringan tembakau Deli di Gudang Pemeraman PTPN II, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (5/8/2015). Tembakau Deli merupakan tembakau terbaik di dunia yang akan digunakan untuk membalut cerutu dan diekspor ke Jerman dan Amerika dengan harga jual 85 Euro per kilogram.TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sikap Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mendukung Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau menuai kritikan.

Dukungan Kemenkeu itu tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-900 Tahun 2013 tanggal 10 Desember 2013. Surat itu ditujukan kepada Menteri Kesehatan.

Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara, dukungan itu belum berubah sampai kini.

Budayawan Mohammad Sobary menuding, dukungan Kemkeu itu tidak lepas dari intervensi pihak luar. Sobary prihatin dengan dukungan tersebut karena membahayakan nasib petani tembakau.

Menurut dia, Kemenkeu dan Kementerian Kesehatan memiliki kepentingan untuk mendukung pihak luar. “Mereka tidak punya semangat membesarkan bangsanya sendiri," kata Sobary, Kamis (6/8).

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menambahkan, dukungan Kemenkeu terhadap FCTC sama saja melampaui sikap Presiden Jokowi yang sampai saat ini belum memberi dukungan.

"Secara ketatanegaraan, Kemenkeu tidak bisa mengambil tindakan hukum apa pun dalam soal FCTC ini, termasuk dan tidak terbatas pada pembahasan apalagi pelembagaan aksesi sepanjang tidak ada directive dari Presiden," kata Margarito.

Bila Kemenkeu terus membandel, menurut Margarito, Presiden harus menegur dan memberi peringatan agar tidak mengeluarkan aturan yang melewati kewenangan.

Ia mengingatkan, pemerintah harus hati-hati dalam meratifikasi FCTC. Ia menegaskan, ratifikasi sudah pasti dipenuhi kepentingan dan merugikan industri dan petani dalam negeri.

"Sebelum memutuskan meneken ratifikasi, pemerintah harus benar-benar menghitung aspek-aspek yang melemahkan, merugikan petani dan pengusaha nasional," ujarnya.(Hendra Gunawan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini