TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sudah menunjukkan sumbangsihnya terhadap Indonesia sejak diambilalih dari tangan Jepang 2013 lalu. Di antara yang paling besar adalah kontribusinya berupa pasokan listrik dalam jumlah besar ke PLN di wilayah Sumatera Utara.
Namun begitu, belum dua tahun berjalan, sudah muncul pihak-pihak yang mencoba mempertanyakan motif pengalihan Inalum dari tangan Jepang menjadi milik BUMN tersebut. Mereka mencoba melakukan penyelidikan terkait peralihan tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan mengaku heran. Sebab selama ini, upaya perebutan perusahaan plat merah dari tangan asing tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Hal itu belum proses negosiasi yang dilakukan, antara pemerintah dan DPR, sehingga memutuskan pengambilalihan aset bangsa, yakni Inalum dari asing.
Oleh karenanya, saat ini kata dia, tak perlu dipertanyakan lagi motivasinya. Bila ada yang masih mempertanyakan, patut ditanya maksud dan tujuan, serta nasionalismenya.
"Kenapa Inalum diambil alih dari Jepang ada yang enggak sepakat, kan itu bagus dimana aset Inalum menjadi milik bangsa ini. Dan kalau ada orang yang tidak sepakat maka perlu dipertanyakan nasionalismenya," kata Heri saat dihubungi, Kamis (13/8/2015).
Oleh karenanya, politisi Partai Gerindra ini mengapresiasi langkah pemerintah yang mengalihkan status PT Inalum dari Penanaman Modal Asing (PMA) ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 2013 lalu.
"Kita apresiasi status Inalum yang menjadi BUMN dan akan berdampak positif nantinya," jelasnya.
Diketahui, secara de facto, perubahan status Inalum dari PMA menjadi BUMN terjadi pada 1 November 2013, sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Induk antara Pemerintah Indonesia dengan Konsorsium Perusahaan asal Jepang.
Perjanjian yang berlangsung pada 7 Juli 1975 menyebutkan, Inalum awalnya dimiliki pemerintah Indonesia sebesar 41,13 persen, sedangkan Jepang menguasai 58,87 persen saham yang dikelola Konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA). Selaitu dalam perjanjian itu disebutkan bahwa kontrak kerjasama selesai pada akhir Oktober 2013.
Dengan begitu, perubahan status Inalum dari PMA menjadi BUMN terjadi pada 1 November 2013. Sedangkan pemutusan kontrak antara Pemerintah Indonesia dengan Konsorsium Perusahaan asal Jepang berlangsung pada 9 Desember 2013, dan secara de jure Inalum resmi menjadi BUMN pada 19 Desember 2013 setelah Pemerintah Indonesia mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium. PT Inalum (Persero) resmi menjadi BUMN ke-141 pada tanggal 21 April 2014 sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2014.
Tim Perunding pengambilalihan Inalum dari PMA ke BUMN melibatkan Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Dirjen Kerjasama Industri Internasional Kemenperin.
Oleh karenanya, kata Heri, proses pengalihan dari PMA menjadi BUMN itu sudah sesuai prosedur dan tak perlu dipermasalahkan lagi.
Ia pun berharap agar Inalum ke depan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar lagi untuk kemajuan bangsa.
"Saya kira bagus Inalum jadi BUMN dan kontribusinya akan lebih baik lagi dan DPR pun mendukung Inalum," pungkas dia.