News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Gejolak Rupiah

Pengusaha Bisa Bangkrut Jika Rupiah Tembus 15.000

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kasir menunjukan uang dollar Amerika di tempat penukaran uang asing PT Ayu Masagung, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (12/8/2015). Nilai tukar rupiah hari ini mengalami koreksi harian terparahnya di 2015. Dalam setengah hari rupiah anjlok 1,33% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dolar AS yang kemarin sudah menguat, pagi tadi kembali perkasa. Mata uang Paman Sam itu dibuka di Rp 13.690 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan kemarin di Rp 13.610 per dolar AS.Secara perlahan tapi pasti, dolar AS terus menguat hingga menembus Rp 13.825 yang merupakan posisi tertingginya hari ini, seperti dikutip dari Reuters, Rabu (12/8/2015). Warta Kota/angga bhagya nugraha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat kian memusingkan pengusaha. Pengusaha khawatir jika gejolak tak juga reda, bisnis mereka berpotensi rugi bahkan gulung tikar.

Seperti kita tahu, perdagangan rupiah di pasar valas yang dicatat oleh Kurs Tengah Bank Indonesia sebesar Rp 13.998 per dolar AS. Sementara di pasar spot, Senin (24/8) pukul 19.05 WIB mencatat rupiah menembus Rp 14.050 per dolar AS.

"Kalau dolar terus anjlok di Rp 14.500, kami sudah sulit sekali bertahan. Kalau sudah Rp 15.000 kami bisa kolaps," kata Fajar Budiono, Sekretaris Jenderal Industri Aromatik, Olefin dan Plastik Indonesia (Inaplas) kepada KONTAN, Senin (24/8).

Efek tekanan rupiah ini sangat berat bagi industri kimia, lantaran. Pertama, di sisi permintaan pasar, saat ini terus menyusut lantaran daya beli masyarakat juga lemah. Seperti kita tahu, industri kimia khususnya plastik kemasan, berhubungan langsung dengan industri consumer goods seperti makanan dan minuman. Jika permintaan industri ini turun, maka permintaan kemasan plastik juga ikut turun.

Kedua, bahan baku berbasis impor, sehingga berpotensi mengerek ongkos produksi yang harus di keluarkan industri ini. Untung dari sisi suplai ini harga minyak mentah sebagai bahan baku industri kimia tengah mengalami penurunan, yakni di kisaran 40 dolar AS per barel.

Meski saat ini kondisi bisnis tengah sulit, Fajar menegaskan hingga kini belum ada perusahaan yang memutuskan hubungan kerja dengan karyawan. "Utilitas masih kami jaga di 80 persen, jadi banyak stok menumpuk di gudang. Karena kami optimistis kondisi akan membaik, dan barang akan banyak terserap di akhir tahun," ujar Fajar.

Makin sulit dan PHK

Tekanan rupiah juga memberatkan industri tekstil. Sekretaris jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy menerangkan, saat ini industri tekstil mulai kesulitan lantaran bahan baku industri tekstil di Indonesia mayoritas masih impor. Padahal mereka harus menjual produk di dalam negeri memakai harga rupiah. Kondisi ini jelas menyulitkan saat nilai tukar rupiah terus melemah.

Meskipun industri tengah dirundung masa sulit, Ernovian tidak bisa memastikan berapa lama produsen tekstil lokal ini masih bisa bertahan di gejolak. "Beban biaya bahan baku semakin tinggi secara otomatis akan mengerek harga jual produk tekstil menjadi semakin mahal," ungkapnya.

Ketua API, Ade Sudrajat menambahkan sekitar 80 persen bahan baku tekstil masih diimpor sehingga industri ini sulit bersaing. Misalnya bahan pembuatan serat kapas hanya diproduksi di Eropa, begitu juga bahan baku garmen.

Ade menyebut, efek pelemahan rupiah tidak hanya berimbas mengerek harga jual produk tekstil, tapi berefek terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK). "Sudah ada 36.000 tenaga kerja yang kena PHK," ungkap Ade kepada KONTAN, Senin (24/8).

Meski begitu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan berharap kondisi ini bisa menjadi momentum bagi investor asing untuk merealisasikan investasinya di Indonesia. Karena secara kurs saat ini lagi murah," ujar Putu.

Semoga investor yang datang bukan spesialis pencaplok perusahaan sakit.(Benediktus Krisna Yogatama, Galvan Yudistira)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini