TRIBUNNEWS.COM, MEDAN -- Real Estate Indonesia (REI) tak menampik bahwa bisnis properti mengalami pukulan cukup keras ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus mengalami tekanan yang begitu hebat. Bahkan, pelemahan rupiah membuat penjualan rumah mengalami perlambatan.
Seperti yang diutarakan Wakil Ketua Umum REI Sumut, Heri Mashuri bahwa penjualan properti di Sumut mengalami penurunan hingga 60 persen. Penurunan yang sangat drastis ini terjadi, karena daya beli masyarakat juga ikut menurun.
"Terasa kali dampak melemahnya rupiah ini. Semua sektor sudah kena imbasnya. Harga bahan pokok sudah naik. Nah, jadi orang lebih fokus kepada kebutuhan pokok. Untuk beli rumah pun berpikir mereka, jadi di Sumut ini pun terasa kali, penjualan properti menurun sampai 60 persen," ujarnya Selasa (25/8/2015).
Ia menilai penurunan penjualan properti juga karena kebijakan dari Bank Indonesia yang mengharuskan aturan nilai down payment (DP) ataupun uang muka 20 persen."Iya itu juga berimbas, kalau DP nya itu 20 persen, kan semakin berat konsumen untuk melakukan pembelian. Makanya kita pun bingung untuk melakukan antisipasi dengan pengurangan DP. Kita mau ya bisa lah dikembalikan menjadi 10 persen," katanya
Heri berharap pemerintah memudahkan semua surat izin dalam pembelian rumah. Selama ini, tak sedikit masyarakat yang kesulitan dalam melakukan pembelian rumah karena terhambat surat izin."Kita berharap pemerintah bisa lah memberikan keringanan terhadap masyarakat. Ini untuk ngurus surat surat pun susah. Ngurus NPWP saja susah, belum lagi yang lain. Ini juga yang menjadi hambatan bagi pembeli," katanya.
Heri juga berpendapat kebijakan satu juta rumah untuk masayarakat berpenghasilan rendah pun juga belum memberikan kemudahan bagi pembeli rumah. Banyak masyarakat yang kesulitan dengan peraturan izin dari pihak bank maupun pemerintah daerah.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk Adrianto P. Adhi menyampaikan pelemahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar tidak terlalu berpengaruh pada biaya investasi pengembangan, terutama perumahan tapak. Sedangkan biaya pengembangan properti gedung seperti apartemen dan kantor (high rise) lebih terkena efeknya dibandingkan rumah tapak karena menggunakan komponen impor sekitar 30 persen sampai dengan 35 persen.
"Untuk komponen mechanical dan electrical sekitar 30 persen sampai 35 persen biasanya masih impor, sehingga terasa kenaikan harganya dengan adanya pelemahan rupiah," tutur Adrianto.Harga material impor, sambungnya, akan mengikuti kenaikan nilai mata uang dolar. Namun, secara keseluruhan ongkos proyek hanya terkerek di bawah 10 persen karena komponen bahan baku lokal masih lebih dominan. Apalagi harga besi semakin menurun.
Perusahaan tentunya akan melakukan kalkulasi kembali pengeluaran akibat kenaikan harga material. Walaupun terjadi sedikit penambahan ongkos konstruksi, perseroan tetap melanjutkan pengembangan apartemen sesuai rencana.(raj/mom)