TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai ulah Serikat Karyawan (SP) JICTyang melakukan aksi anarkis dan sporadis dalam beberapa waktu terakhir bisa mengganggu perekonomian nasional.
Salah satu agenda utama aksi SP JICT antara lain untuk menurunkan menteri BUMN Rini M.Soemarno dan Dirut PTPelindo II RJ. Lino.
Apalagi upaya SP untuk memaksa Presiden Jokowi menurunkan dua pejabat pemerintah itu disertai berbagai ajakan untuk melakukan mogok nasional.
Dosen Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Saut Gurning menilai, cara-cara yang dilakukan SP JICT untuk menurunkan Dirut Pelindo II sudah di luar konteks korporasi dan memberi dampak destruktif kepada masyarakat pengguna jasa kepelabuhan.
Apalagi sekumpulan karyawan JICT itu juga menekan presiden untuk mengganti salah satu menteri yang dianggap tidak mendukung kepentingan SP.
"Respon dan tuntutan demo oleh SP JICT saya pikir malah menimbulkan kondisi yang merugikan ekonomi nasional. Aspirasi dan tuntutannya saya kira sudah didengar dan dipahami. Tetapi kalau diluar tuntutan itu hingga aksi mogok nasional saya kira justru tidak konsisten dengan idealisasi mencegah kerugian negara,” kata Saut Gurning saat dihubungi, Rabu(7/10).
Saut menambahkan aksi demo dan ancaman mogok nasional oleh SP JICT memberikan image negatif bagi layanan perdagangan luar negeri Indonesia.
“Sah-sah saja jika ada aspirasi ingin mengganti pembantu presiden dan direksi BUMN. Saya pikir itu hak masyarakat untuk mengevaluasi kinerja yang bersangkutan dengan obyektif, valid dan faktual. Kalau benar-benar merugikan negara secara real saya pikir obyektifnya ya perlu dievaluasi. Namun jangan ajak-ajak masyarakat jadi terganggu aktivitas ekonominya dong,” tutur Saut.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai berbagai upaya yang dilakukan SP JICT sudah meresahkan pengusaha. Hal ini terlihat sejak berbagai aksi demo terus dilakukan oleh SP JICT, produktifitas terminal petikemas terbesar di Indonesia itu terus menurun.
Sebagai pintu gerbang utama ekonomi nasional, saat ini kondisi terminal JICT dan pelabuhan Tanjung Priok sangat tidak kondusif dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh SP JICT.
Apalagi sekarang para karyawan itu berusaha menjatuhkan Meneg BUMN dan Dirut Pelindo II.
"Perlu ada ketegasan dari pemerintah untuk meminta pihak terkait memberikan pernyataan yang menjelaskan duduk persoalan. Jika tidak ada penjelasan, masalah ini tidak akan selesai dan memberikan iklim yang tidak kondusif bagi pengusaha," ujar Agus.
Menguntungkan
Perpanjangan konsesi JICT yang dilakukan oleh Pelindo II dan telah disetujui oleh menteri BUMN memang sangat menguntungkan Indonesia.
Misalnya, dengan perubahan kontrak ini Pelindo II akan memperoleh tambahan pendapatan sebesar US$ 10 juta per bulan atau US$ 120 juta setahun, naik dua kali lipat dibandingkan kontrak lama.
Pelindo II juga mengantongi uang muka kontrak perpanjangan sebesar US$ 265 juta.
Dana itu bisa digunakan untuk investasi baru bagi pengembangan infrastruktur maritim di Indonesia.
Keuntungan besar lainnya bagi Pelindo II adalah kepemilikan saham di JICT yang semula minoritas menjadi mayoritas, yaitu 51%. Dengan demikian Pelindo II akan mengontrol penuh bisnis JICT demi keuntungan dan kepentingan Indonesia.
Sejalan dengan kontrak perpanjangan, pengelolaan terminal 2 JICT akan diserahkan kembali kepada Pelindo II.
Dengan aset tersebut, dalam kurun waktu 2014- 2019, Pelindo II berpotensi meraih pendapatan dari operasionalisasi terminal II JICT hingga US$ 135 juta.
Komite pengawas JICT juga menyayangkan sikap SP JICT yang melakukan protes anarkis terhadap kebijakan PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo) II. Sebagai pemegang saham, Pelindo II memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan strategis selama prosesnya dilakukan secara transparan dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Ketua Komisi Pengawas JICT Erry Riyana Hardjapamekas menilai perilaku SP JICT sudah di luar koridor kewajaran.
Penolakan yang dilakukan pekerja terhadap kebijakan Pelindo II memperpanjang konsesi pengelolaan terminal JICT dan KOJA dengan Hutchinson Port Holding (HPH) tidak relevan.
Pasalnya perjanjian itu telah melalui proses yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Perpanjangan konsesi itu sudah sangat transparan dan mengikuti proses tender sebagaimana mestinya. Dengan perpanjangan ini Pelindo II akan menjadi pemegang mayoritas JICT dan memperoleh banyak keuntungan secara finansial. Kami di Komisi pengawas tidak menemukan adanya pelanggaraan," tegas mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.