TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT. Freeport Indonesia tetap konsisten melakukan negosiasi dengan Kementerian ESDM terkait kontrak karya yang berakhir 2021.
Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia Riza Pratama mengingatkan Freeport merupakan penanam modal asing (PMA) pertama di Indonesia.
"Freeport mulai masuk ke Papua, waktu itu tidak ada yang mau masuk," kata Riza dalam diskusi 'Rakyat Menuntut Hak kepada Freeport' di Cikini, Jakarta, Minggu (25/10/2015).
Pada tahun 60-an, ia menceritakan keadaan ekonomi Indonesia sedang kacau dimana terdapat peristiwa G-30 S PKI, lalu inflasi yang cukup besar. Tetapi, Freeport berani berinvestasi ke Papua dengan mengambil resiko yang tinggi dengan kapital besar.
"Karena Indonesia butuh kapital besar. Kita dapat kontrak karya pertama, masuknya freeport PMA pertama Baru saja Pak Soeharto jadi presiden, lalu baru masuk perusahaan lain, lihat Indonesia aman, berbondong-bondonglah perusahaan lain masuk karena Freeport, masuk fresh money," kata Riza.
Ia menuturkan kontrak karya kedua tahun 1991 akan berakhir pada 2021 dan bisa diteruskan hingga 2041. Tetapi, pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan UU Minerba, sehingga kontrak karya berakhir di 2021. Oleh karenanya Freeport kembali berunding dengan pemerintah.
Dalam perundingan tersebut, Riza menjelaskan sejumlah poin seperti status Freeport yang diturunkan dari level setara dengan pemerintah. Kemudian luas wilayah operasinya, dari dari 212,95 ribu hektar menjadi 90ribu hektar di Mimika, Papua. Lalu, pajak yang bertambah.
Riza menuturkan kontribusi Freeport ke pemerintah mencapai 60 persen lebih besar daripada perusahaan induk yang hanya 40 persen.
"Jadi jauh lebih banyak (pemerintah)," tuturnya.
Riza juga menuturkan penyerapan tenaga kerja Papua yang mencapai 35 persen. Lalu pembangunan smelter di Gresik sehingga mampu menyerap 40 persen konsentrat. "Pembangunan smelter penting, tapi kalau kontrak tidak beroperasi 2021, buat apa kita Bangun smelter? Mengapa kita buat smelter kalau tidak ada lagi konsentrat," ujarnya.