TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kegiatan tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan khususnya di industri migas selama ini dipahami sebagai hanya pada program yang terkait erat dengan pembangunan infrastruktur, serta program yang sifatnya charity atau kebaikan perusahaan (community assistance).
Padahal CSR harusnya dipahami lebih luas lagi sebagai bentuk penguatan masyarakat, dimana masyarakat bisa mandiri dan bisa menyelesaikan persoalan mereka.
“Muara dari kegiatan CSR adalah Community empowerment,” ujar Risna Resnawaty, pakar CSR dari FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung.
Risna sejak 2008 sampai 2011 melakukan penelitian kegiatan CSR di perusahaan mingas dan pertambangan di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Menurut Risna, kegiatan CSR yang benar, harus mampu memberi dampak positif baik secara ekonomi, sosial ataupun ekologis.
“Kegiatan CSR yangn dilakukan perusahaan harus ada dampak positif secar ekonomi, kegiatan yang dilakukan dapat diterima oleh masyarakat dan kegiatan yang dilakukan harus memperhatikan pada lingkungan dan keberlangusngan manusia dalam lingkungan,” kata dosen jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fisip Unpad tersebut.
Dari pengalamannya melakukan penelitian CSR di industri migas, ada dua tipologi kegiatan CSR pascadibubarkannya BP Migas dan digantikan oleh SKK Migas. Apalagi, sejak 2008, dana untuk kegiatan CSR tidak lagi bisa dilakukan cost recovery. Saat itu, ada penyelewengan, dimana ada kegiatan non-CSR yang dimasukan sebagai dana CSR.
Setelah era BP Migas, tipe kegiatan CSR dibagi menjadi tipe ekonomis dan tipe reformis. Pada kegiatan CSR jenis ekonomis, perusahaan melakukan pengurangan pada beberapa bagian. Sedangkan pada tife reformis, meski sudah tidak masuk cost recovery, perusahaan tetap fokus melakukan kegiatan yang sama, lebih fleksibel dan kreatif.
Menurut Risna ada tiga bentuk CSR yakni, community assistance, community relation dan community empowerment.
Pada tahapan pertama, sifatnya hanya membantu dan mengendalikan kebaikan hati perusahaan. Pada tahap ini, tidak ada pendampingan yang dilakukan, masyarakat juga tidak diajari untuk bertanggungjawab mengembalikan pinjaman sehingga seringkali perusahaan hanya berperan sebagai ATM semata.
Untuk community relation, ini merupakan motif utama perusahaan melakukan kegiatan CSR yakni membangun relasi yang baik dengan masyarakat juga pemerintah setempat. Perusahaan memberikan sumbangan karena APBD kurang.
“Ini tidak salah, karena mau tidak mau, perusahaan-apalagi perusahaan migas-, imejnya harus bagus. Dengan imej yang bagus, hubungan dengan pemangku kepentingan pun menjadi lebih baik,” tuturnya.
Selanjutnya untuk bentuk community empowerment, perusahaan, selain memberikan modal kepada masyarakat, perusahaan juga melakukan pendampingan, terus melakukan pemberdayaan agar masyarakat memiliki kapasitas. Memang prosesnya akan berjalan lama, tetapi akhirnya masyarakat akan terbiasa. Ada upaya untuk meningkatkan produktivitas, memgembalikan pinjaman modal yang diberikan.
Muaranya, masyarakat tidak lagi tergantung kepada perusahaan dan menjadi mandiri serta memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri.
“Ini (community empowerment) adalah bentuk yang paling ideal dalam melakukan program CSR,” imbuhnya lagi.