Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VI DPR, Heri Gunawan, menyayangkan permasalahan pajak air permukaan Inalum dengan pemerintah.
Sebagai perusahaan BUMN, Inalum belum mendapatkan dukungan riil mengaca adanya ketidaksepahaman antara Inalum dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Pemprov Sumut mestinya tidak terlalu memaksakan kenaikan pajak air permukaan yang terlalu tinggi yang akan memberatkan Inalum agar mampu lebih maju dan bersaing.
“Kan sudah ada hasil kajian BPKP-nya. Ikuti itu saja,” ujar Heri dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (25/11/2015).
Heri mengatakan apabila Inalum sudah mengikuti aturan pajak air permukaan berdasar kajian BPKP, maka langkah Dispenda Sumut yang masih menaikkan pajak tersebut justru akan berdampak buruk bagi Inalum.
Pemprov Sumut menagih PAP Inalum berdasarkan tarif Industri progresif sebesar Rp 1.444 per meter kubik, sehingga dalam satu tahun surat ketetapan pajak daerah (SKPD) lebih dari Rp 500 miliar.
“Jadi ini jelas sangat memberatkan, tidak adil, dan Inalum bisa bangkrut karena pajak daerah ini,” sambung Heri.
Padahal PAP untuk pembangkit listrik yang dijual ke PLN yang dikenakan kepada Asahan 1 berdasarkan tarif Rp 7,5/Kwh.
Pemprov Sumut sudah pernah memminta BPKP Sumut untuk mengkaji berapa besaran PAP yang wajar untuk pembangkit listrik untuk kepentingan sendiri atas Inalum yaitu Rp 19,8/KwH.
Sehingga, menurut Heri, wajar apabila Inalum menyampaikan keberatan atas penetapan tarif industri atas kegiatan pembangkitan listrik yang dikenakan Dispenda.
"Walaupun keberatan dengan hasil perhitungan Dispenda, Inalum tetap berkontribusi terhadap pendapatan daerah dari pajak air permukaan, baik untuk air yang digunakan untuk industri di pabrik peleburan, di perumahan maupun untuk pembangkitan listrik, khusus untuk pembangkit litrik Inalum menggunakan tarif Rp.7,5 /kwh, sebagai diatur dalam Peraturan Gubernur,” jelas dia.
Heri juga menyarankan solusi untuk menghadapi persoalan tersebut di antaranya, pertama adanya pendekatan dengan pihak Pemprov Sumut, lalu Inalum bisa meminta opini Jamdatun dan segera membuat MoU dengan Pemprov Sumut.
"Sehingga tercapai kesepakatan pembayaran pajak air permukaan yang disarankan BPKP, terakhir meminta kepada komisi terkait untuk menjadi masukan atas keberadaan otonomi daerah,” beber dia.
Ia menyarankan adanya perbaikan regulasi guna menciptakan sinergi yang lebih baik antara pusat dan daerah.
Pengamat dan praktisi hukum, Acong Latif, mengatakan masyarakat ingin tahu mengapa PAP menimbulkan kegaduhan tersendiri ketika Inalum sudah menjadi BUMN, ini berbeda ketika Inalum masih berstatus sebagai PMA yang PAP-nya tidak dipermasalahkan.
Pada masa PMA, PAP termasuk pajak-pajak daerah lainnya yang dibayarkan oleh Inalum sebagai satu kesatuan yang disebut annual fee kepada Pemerintah.
Annual fee diatur dalam perjanjian induk antara investor Jepang dengan Pemerintah Indonesia, selanjutnya annual fee dikembalikan kepada Pemprov Sumut dan 10 kabupaten atau kota secara proporsial yang melingkupi Danau Toba dan aliran Sungai Asahan, transmisi serta lokasi pabrik peleburan, masing-masing kabupaten Toba samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, Tapanuli Utara, Simalungun, Asahan, Batubara, kota Tanjung Balai.
“Formula perhitungan annual fee berbeda dengan perhitungan pajak, komponen perhitungannya terdiri iuran tetap, yaitu sebesar 2,600,000 dolar AS dan iuran variable yang tergantung pada harga Aluminium dunia (London Metal Exchange). Peruntukan dari annual fee juga sudah diatur, yaitu terdiri dari pajak air permukaan, pajak bumi dan bangunan, dan pajak lainnya,” kata Heri.
Sebelumnya, Plt Gubernur Sumut menerima Direksi Inalum yang hendak mengkaji ulang semua aspek secara komprehensif untuk selanjutnya dibentuk tim pengkaji dari berbagai unsur dinas terkait.
Masyarakat dan dunia usaha di Sumatera Utara maupun calon investor tentunya berharap banyak agar hasil kajian ini memberikan titik temu bagi kedua belah pihak.