TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisaris Utama Pelindo II Tumpak Hatorangan Panggabean menegaskan bahwa perpanjangan kontrak kerjasama JICT sudah melalui persetujuan dewan komisaris. Keputusan ini juga telah melibatkan pendapat hukum dari kantor Hukum Oentoeng Suria& Partners dan telah mendapat review oleh BPKP.
"Dewan Komisaris memberikan persetujuan dan pertimbangan kepada dewan direksi sesuai dengan surat keputusan dari pemegang saham, yaitu kementerian BUMN. Sehingga perpanjangan kontrak JICT antara Pelindo II dan HPH dilakukan," tegas Tumpak, mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat memberi keterangan di Pansus Pelindo II di Jakarta, Kamis (3/12/2015).
Tumpak menambahkan, dasar hukum perpanjangan kontrak JICT adalah UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN. Sesuai regulasi tersebut aset negara yang sudah dipisahkan, diberikan kepada BUMN untuk dikelola. Dengan demikian BUMN memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, dengan persetujuan pemegang saham, dalam hal ini Kementerian BUMN.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Pelindo kembali menegaskan bahwa perpanjangan kontrak JICT telah melalui proses panjang sesuai prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Perpanjangan kontrak JICT juga sesuai dengan UU No 19 tentang BUMN.
Sementara terkait UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Lino menegaskan, bahwa pasal 344 mengatur secara tegas bahwa penyelenggaraan kegiatan pengusahaan pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh BUMN kepelabuhanan tetap diselenggarakan oleh BUMN Kepelabuhanan tersebut
"Dengan JICT ini bukanlah perpanjangan konsesi, hanya perpanjangan kontrak, business to business," tegasnya.
Menurut RJ Lino, selain kerjasama dengan HPH di JICT, Pelindo II juga melakukan kontrak kerjasama sejenis dengan pihak-pihak lain. Misalnya kerjasama dengan Tempuran Mas (Temas) dan Meratus di areal lain di Tanjung Priok. Namun, kontrak tersebut tidak pernah dipermasalahkan.
"Kepemilikan Pelindo II di JICT menjadi 51% dari sebelumnya 48%. Perpanjangan JICT ini sangat menguntungkan Pelindo, terus kenapa dipersoalkan," tegasnya.
RJ Lino menambahkan, kerjasama dengan HPH lebih menguntungkan daripada jika JICT dikelola Pelindo sendirian. Menurutnya, total pendapatan Pelindo II jika mengelola JICT sendirian selama periode 2015-2019 hanya US$ 519,89 juta. Sebesar US$ 384,26 juta dari pendapatan sewa peti kemas dan deviden 100 persen saham US$ 135,62 juta.
Dengan kerjasama bersama HPH, pendapatan Pelindo mencapai US$ 668,43 juta. Perinciannya, sewa peti kemas US$ 384,26 juta, deviden dari 51 persen saham US$ 69,17 juta dan uang muka dari Hutchinson sebesar US$ 215 juta."
RJ Lino juga menjelaskan kepada pansus bahwa selama ini yang dipersoalkan hanya seputar saham dan uang muka dari perpanjangan kontrak periode 2019-2038. Padahal, selain itu terdapat pendapatan kepada Pelindo dari biaya sewa sebesar US$ 85 juta per tahun. Totalnya, selama 20 tahun kontrak pemasukan PT Pelindo dari sewa peti kemas mencapai US$ 615,52 juta.
“Jumlah deviden yang diterima Pelindo II dari 51 persen saham sekitar US$ 15,3 juta per tahun, sedangkan Hutchinson hanya US$ 14,7 juta. Sebenarnya yang justru merugi Hutchinson,” tandasnya.