TRIBUNNEWS.COM -- Sekitar Tahun 1960 masyarakat Madura, khususnya daerah pesisir Kabupaten Sumenep, begitu bangganya disebut sebagai petani garam karena saat itu hasil garam rakyat menjadi primadona sebagai tulang punggung kehidupan mereka. Sekali panen, banyak diantara mereka yang mampu membiayai ongkos naik haji ke Tanah Suci Mekkah. Lalu bagaimana sekarang.?
‘’Dulu Pak, kalau ada anak petani garam melamar seorang gadis, pasti diterima dan merupakan kebanggaan bagi keluarga perempuannya jika dilamar anaknya pemilik garam,’’ tutur Hidayat, warga Desa Pinggir Papas, Kecamatan Kalianget, Sumenep, kepada Surya, Minggu (13/12/2015).
Boleh dikata, kehidupan masyarakat petani garam saat itu boleh membusungkan dada. Bahkan petani tembakaupun saat itu masih kalah bersaing pendapatannya dengan petani garam. Kawasan garam saat itu ada di Kecamatan Kalianget, Gapura dan Kecamatan Seronggi dan menjadi pusat perputaran perekonomian di Kabupaten Sumenep.
‘’Namun itu hanya menjadi kenangan karena kemudian semua kebanggaan itu bubar setelah petaka datang. Petaka yang dibungkus muslihat PT Garam membuyarkan harapan dan masa depan anak-anak kami,’’ lanjut Aktivis Penolakan Petani Garam Sumenep ini.
Petaka yang dibungkus PT Garam itu berawal sekitar Tahun 1975 hingga Tahun 1977. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dulu bernama PN Garam dengan kekuasaan dan kekuatan orde baru memaksa bahkan mengintimidasi petani garam untuk menyerahkan tanah lahan pegaramannya kepada pemerintah dengan alasan modernisasi proses pegaraman.
Ratusan hektar tanah pegaraman milik rakyat yang tersebar di Desa Pinggir Papas, Karang Anyar, Kecamatan Kalianget, Desa Seronggi, Nambakor Kecamatan Seronggi dan juga di Desa Poja, Braji, Karangbuddi, Kecamatan Gapura, Sumenep yang merupakan daerah produktif lahan pegaraman dikuasai PT Garam.
‘’Orang tua kami tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi dengan segala upaya PT Garam memaksa menyerahkan lahan pegaraman kami satu-satunya dengan ganti rugi hanya Rp 100 per meter persegi. Tentu sangat tidak sebanding,’’ kisah Samiuddin warga Desa Karang Anyar.
PT Garam dengan program modernisasi berhasil membebaskan tanah sedikitnya 4.000 hektar lebih tanah pegaraman milik rakyat di tiga kecamatan tersebut. Pemilik yang sebelumnya pemilik dan pengelola sendiri lahan pegaramannya malah berganti menjadi pekerja PT Garam di lahan yang sebelumnya dimilikinya.
‘’Sekitar dua sampai tiga tahun kami masih bisa bekerja di lahan PT Garam yang sebelumnya tanah milik saya. Tetapi kemudian, sejak modernisasi itu akan dimulai, kami akhirnya tersingkir dan hanya bisa meratapi nasib,’’ lanjutnya.
Hampir semua petani garam rakyat merintih meratapi nasibnya yang tak bisa lagi bergantung pada lahan miliknya yang telah berpindahtangan ke PT Garam. Ada yang masih dipertahankan oleh PT Garam bekerja sebagai buruh lepas dengan bayaran Rp 1.000 perhari, yang tentu jauh dari cukup untuk bisa menghidupi keluarganya.
Hidup dengan bertani garam di daerahnya tak lagi menjadi primadona kehidupan petani garam di tiga kecamatan yang sebelumnya berkecukupan. Sebagian besar diantara petani garam rakyat ada yang meneruskan keahliannya membuat garam dengan menjadi pekerja garam di berbagai daerah yang juga menggarap lahan pegaraman.
‘’Ada yang menjadi kuli garam di Kabupaten Gresik. Tuban dan Lombok, bahkan ada yang berpindah profesi menjadi kuli bangunan serta pekerja proyek pembangunan jalan milik pemerintah,’’ tutur Abdul Azis asal Desa Poja, yang sempat mengadu nasih sebagai pekerja garam di Gresik, Jawa Timur.
Nasib yang sebelum menjadi penguasa hasil garam namun berubah menjadi pekerja dan buruh garam tidak saja dialami petani aram asal Sumenep, tetapi menimpa para pemilik lahan pegaraman di Sampang dan Pamekasan. ‘’Banyak warga disini yang sebelumnya petani garam, kini jadi nelayan dan bekerja sebagai kuli bangunan,’’ kata Muhsin warga Pangarengan, Kabupaten Sampang, Madura. (Moh Rivai)