TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Pertembakauan yang tengah digodok oleh DPR RI, dinilai industri masih belum adil.
Sudarto Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) mengatakan, ada beberapa pasal yang cenderung memberatkan industri. Misalnya pasal yang mengatur tentang industri harus menggunakan minimum 80 persen tembakau lokal.
"Seperti yang kita ketahui, produksi tembakau dalam negeri masih berkisar 180 ribu sampai 190 ribu ton per tahun, sedangkan yang dibutuhkan adalah 330 ribu ton per tahun," katanya kepada wartawan, Kamis (17/12/2015).
Dari situ terlihat bahwa produksi tembakau dalam negeri belum mencukupi kebutuhan pabrikan rokok. Di pasal lain, bila pabrikan tetap menggunakan tembakau impor untuk menutupi kekurangan tersebut, maka akan dikenakan cukai tiga kali lipat.
"Ini jelas tidak adil. Pabrikan dipaksa menggunakan tembakau dalam negeri, tetapi pasokannya tidak ada. Di sisi lain, jika menggunakan tembakau impor maka akan dikenakan cukai tiga kali lipat. Akibatnya, kekurangan bahan baku akan mendorong penurunan produksi dan imbasnya tentu akan menimpa para pekerja pabrikan rokok," lanjutnya.
Sudarto menambahkan, semenjak pemerintah resmi menaikkan target cukai untuk tahun depan, produksi rokok di beberapa daerah di Indonesia mulai turun drastis. Penurunannya bisa mencapai 30 persen.
"Bila nantinya ditambah lagi dengan beban aturan baru di RUU Pertembakauan tersebut, bukan tidak mungkin akan terjadi PHK besar-besaran di kemudian hari. Di tiga tahun ke belakang sudah ada 32 ribu karyawan yang di-PHK," paparnya.
Sekjen Gappri, Hasan Aoni Aziz menuturkan, peraturan penggunaan tembakau lokal sebanyak 80 persen tidak bisa serta merta dilaksanakan, ada dua hal yang perlu dipikirkan sebelum peraturan tersebut dilaksanakan.
"Kita harus melihat dari dua segi, kuantitas dan varitas. Dari segi kuantitas saat ini industri membutuhkan lebih dari 300 ribu ton tembakau tiap tahunnya, sedangkan produksi lokal hanya mampu menghasilkan sekitar kurang dari 200 ribu ton," ujarnya, Kamis (17/12/2015).
Belum lagi dari keragaman varitas yang dihasilkan di negeri ini. Dia mencontohkan varitas tembakau Virginia yang hanya bisa dihasilkan di daerah tertentu di Indonesia. Hal ini membuat industri tidak memiliki pilihan lain selain mengimpor jenis ini.
Hasan juga menyayangkan peraturan yang mewajibkan industri untuk membayar cukai sebanyak tiga kali lipat jika produknya menggunakan tembakau impor dan pengenaan bea masuk sebesar 60 persen untuk impor tembakau, ini akan menyebabkan industri mengalami kesulitan secara ekonomi.
"Peraturan ini akan membuat industri yang sudah berjalan baik mengalami kesulitan, yang akan bisa bertahan hanya pabrikan besar. Ini implikasinya banyak," pungkasnya.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian melalui Direktur Industri Minuman dan Tembakau Faiz Ahmad mengatakan, saat ini 40 persen tembakau di Indonesia masih impor. Hasil produksi tembakau di Indonesia sekitar 180 ribu sampai 190 ribu ton per tahun. Sedangkan yang dibutuhkan mencapai 330 ribu ton per tahun.