TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan Perserikatan Rokok Indonesia (Gappri) melihat bahwa ada pihak yang tak setuju dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan (Roadmap) Produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) Tahun 2015-2020. Padahal, menurut Gappri, Permenperin 63 tersebut sudah tepat.
Ketua Umum Gappri, Ismanu Sumiran mengatakan, anggapan Permenperin 63 menihilkan sektor kesehatan itu berlebihan. Sebab, negara wajib berlaku adil dan memberikan kesempatan seluasnya bagi semua pihak untuk berusaha.
Menurutnya sudah menjadi tugas proporsional dari Kementerian Perindustrian untuk memaksimakan potensi industri termasuk IHT. Sementara terhadap sektor kesehatan, ada Kementerian Kesehatan yang bertanggungjawab terhadap kesehatan.
Sedangkan soal tuduhan potensi kapitalisasi yang ditunjukan terhadap pelaku IHT, menurut Gappri juga tidak benar. Sebab dengan kontribusi IHT melalui pungutan cukai dan pajak yang sudah mencapai 65 persen masuk ke kas negara, IHT bisa disebut BUMN yang dikelola oleh swasta.
“Sehingga yang benar, sesungguhnya IHT bersama pemerintah bersinergi membangun potensi," kata Ismanu dalam keterangannya, Jumat (14/1).
Adapun tudingan terjadinya PHK semata karena industri, menurut Ismanu cara pandang tersebut keliru. Justru dalam 10 tahun terakhir PHK makin membesar akibat kampanye negatif kelompok anti tembakau seperti YLKI, Komnas Perlindungan Tembakau, dan diikuti oleh pemerintah dengan program "diversifikasi tanaman tembakau".
Seperti diketahui sebelumnya, kelompok antitembakau terus menyerang industri hasil tembakau.
Pada 4 Januari lalu, Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan (Raya Indonesia) yang terdiri dari Koalisi Rakyat Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok, Tobacco Control Support Center, Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Ikatan Ahli Kesehatan Indonesia, YLKI, YLBHI, mengirimkan surat penolakan ke Menteri Perindustrian.
Mereka menilai Permenperin No 63 bertentangan dengan banyak kebijakan pemerintah yang lain.(Hendra Gunawan)