TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sepanjang 2016 hingga 2017, PT Pertamina (Persero) akan kedatangan delapan unit kapal general purpose (GP) dengan bobot mati 17.500 deadweight tonnage (DWT) yang dikirim oleh tiga galangan kapal nasional.
Tiga galangan kapal tersebut, yaitu PT Anggrek Hitam Shipyard, PT Daya Radar Utama, dan PT Multi Ocean Shipyard. Total investasi pembelian delapan unit kapal tersebut sebesar 200 juta dolar AS atau sekitar Rp 2,7 triliun.
Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan penambahan kapal GP saat ini mendapatkan momentum mengingat pasar penyedia kapal tersebut saat ini sangat terbatas di Indonesia. Pemilihan galangan kapal dalam negeri juga menjadi wujud nyata peran aktif Pertamina dalam memajukan industri maritim.
“Ini untuk memberikan kesempatan galangan dalam negeri dan potensi lokal daerah untuk memiliki pengalaman membangun kapal tanker dengan ukuran terbesar di kelas galangan kapal yang ada di Indonesia,” ujar Wianda di Jakarta, Kamis (21/1/2016).
Perusahaan galangan kapal PT Anggrek Hitam Shipyard di Batam, Kepulauan Riau membangun dua kapal untuk produk, yaitu MT Parigi danMT Pattimura. Sedangkan PT Daya Radar Utama di Lamongan, Jawa Timur membangun kapal untuk minyak mentah, yaitu MT Panderman, MT Papandayan, dan MT Putri. Sementara PT Multi Ocean Shipyard di Karimun, Kepulauan Riau membangun kapal produk MT Pasaman, kapal untuk avtur MT Panjang, dan kapal untuk mengangkut minyak mentah MT Pangrango.
Saat ini Pertamina memiliki 65 unit kapal milik berbagai ukuran untuk mengangkut minyak mentah dan produk guna memenuhi kebutuhan energi nasional.
Hingga 2017 terdapat 11 unit kapal yang siap dikirimkan galangan kapal. Selain delapan kapal dari galangan lokal, Pertamina juga akan menerima tiga kapal medium range dengan bobot mati 40.000 deadweight tonnage (DWT) dari New Times Shipbuilding Co Ltd, China pada kuartal I 2016.
Investasi tiga kapal yang masing-masing bernama MT Sanggau, MT Serui, dan MT Sanana tersebut mencapai total 100 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,35 triliun. New Times Shipbuilding sebelumnya membangun tanker Pertamina berukuran 85.000 long ton dead weight (LTDW), yaitu Gamkonora pada 2012.
Menurut Wianda, penambahan kapal ini merupakan implementasi dari Shipping Excellence yang merupakan bagian dari program Marketing and Operation Excellence. Hal ini juga sejalan dengan lima pilar prioritas strategis Pertamina untuk memperkuat infrastruktur yang dapat mendukung daya saing perusahaan.
“Penambahan kapal tersebut untuk melayani distribusi BBM seluruh Indonesia dengan 111 terminal BBM dan jalur distribusi terkompleks di dunia guna terciptanya keamanan pasokan (security of supply) dan dukungan terhadap daya saing Pertamina di level nasional maupun internasional,” katanya.
Eddy K Logam, Ketua Umum Ikatan Perusahaan Produsen Kapal & Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo), mengapresiasi kebijakan pemerintah Indonesia melalui Pertamina yang menggunakan jasa pembangunan kapal di dalam negeri. Hal ini dinilai akan mengerakkan dan menghidupkan industri maritim. Apalagi selama ini industri galangan kapal telantar dan langkah Pertamina itu menjadi momentum kebangkitan industri maritim.
“Galangan lokal mampu membangun tanker 17.500 DWT, sudah terbukti karena beberapa kapal pesanan Pertamina dibangun di galangan anggota Iperindo,” ujarnya.
Menurut Eddy, daya saing lokal harus ditingkatkan karena itu Iperindo mendorong pemerintah menghapuskan bea masuk komponen kapal.
Ibrahim Hasyim, pengamat migas dan perkapalan, menilai Pertamina memerlukan banyak kapal tanker untuk mengangkut minyak mentah, BBM, dan gas. Kebutuhan tanker dalam berbagai ukuran yang disesuaikan dengan jumlah kargo yang diangkut, letak lokasi pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar, kedalaman alur laut indonesia sangat penting dalam mendukung bisnis, membangun efisiensi dan membangun ketahanan energi nasional.
Menurut Ibrahim jumlah tanker yang disewa Pertamina lebih banyak dari tanker milik. Pembangunan tanker baru selain untuk meremajakan tanker tua yang ada, juga untuk menambah kapal milik sehingga mencapai rasio tertentu dalam rangka membangun posisi tawar sehingga harga sewa tidak mudah dipermainkan.
“Untuk efisiensi operasi bisa menggunakan jasa ship management. Kalau itu bisa dilakukan semestinya kapal milik lebih murah,” katanya.