TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII yang juga pakar perminyakan Kurtubi mengaku bahwa persoalan yang saat ini dihadapai blok Masela membingungkan dan “ruwet”.
Salah satu yang membuatnya bingung adalah, apakah blok Masela ini akan menggunakan metode onshore (darat) atau offshore (terapung di laut lepas). Sebab, Blok Masela yang dengan cadangan gas melimpah ini, menurut Kurtubi, pembangunannya masih simpang siur.
Kesimpangsiuran ini, menurut Kurtubi, akan memengaruhi pola pengembangan produksi gas dan pengolahan limbah gas yang bisa digunakan untuk pupuk serta konsentratnya.
Keruwetan pembangunan blok ini juga, menurut Kurtubi, dipengaruhi oleh UU Migas. Sebab nyatanya, pabrik LNG saat ini dioperasikan oleh bukan Pertamina. Persoalan ini tentu akan membayangi pengembangan industri LNG.
“Jadi UU Migas itu merusak industri LNG nasional. Mestinya yang berhak membangun pabrik LNG plan itu Pertamina, walau pendanaannya tidak dari APBN. Demikian juga setelah pabrik LNG terbangun, Pertamina juga mengoperasikan proses LNG di bawah kekuasaan Negara," papar politisi Partai NasDem ini, menimpali penjelasan Menteri ESDM Sudirman Said saat Rapat Kerja di ruang Komisi VII, Senin (25/1/2016).
UU migas yang tidak pro terhadap pertamina telah menghancurkan sistem operasional dan niaga LNG. Pertamina diberi kewenangan terbatas, sedangkan kontraktor diberi keleluasaan dengan membangun pabriknya.
“Yang merusak LNG nasional itu UU Migas. Dari awal saya katakan, ini memang harus disempurnakan dan alhamdulillah sudah masuk prolegnas 2016,” tukasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli secara mengejutkan memunculkan opsi baru dalam rencana pengembangan Blok Masela. Opsi baru itu adalah penggunaan skema pipanisasi, yang artinya menggunakan metode onshore. Pandangan ini sontak memunculkan polemik. Sebab Kementerian ESDM berpandangan, pengembangan Blok Masela akan menggunakan metode offshore.
Blok Masela sendiri adalah kilang gas alam cair (LNG) di daerah Laut Arafuru, Maluku. Sejauh ini, pembahasan pengembangan kilang ini masih alot di tingkat kabinet, karena soal pilihan dua metode ini.
Selain Blok Masela, Kurtubi juga menaruh perhatian pada usulan pengeboran baru dari PT Lapindo Brantas. Ia dengan terang-terangan menolak pengeboran sumur baru karena menimbang risiko luapan lumpur serupa yang akan terjadi dikemudian hari. Risiko ini menurutnya terlalu besar serta tidak memiliki keuntungan bagi Negara.
“Itu daerah bencana. Dihentikan saja biar masalahnya selesai dan tidak habis energi bangsa ini untuk hal-hal yang tidak perlu,” tuturnya.
PT Lapindo Brantas Inc yang terafiliasi dengan grup usaha bakrie rencananya akan memulai pengeboran baru pada Maret 2016 setelah berhenti beroperasi 10 tahun lalu. Sebetulnya rencana pengeboran sudah diajukan sejak lima tahun yang lalu. Namun demikian rencana tersebut mendapat penolakan dari berbagai pihak terutama dari masyarakat dan pemerintah daerah sehingga Kementerian ESDM memutuskan melarang Lapindo melakukan pengeboran lagi.