TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemberlakukan peraturan terkait pungutan pajak regresif dari negara Perancis untuk Crude Palm Oil (CPO) mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak di Indonesia. Bahkan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli tidak setuju adanya pungutan pajak tersebut.
Ekonom Drajad Wibowo menilai Indonesia perlu menyiapkan tindakan balasan. Salah satu caranya mengenakan pajak yang tinggi juga terhadap produk-produk Prancis yang masuk di Indonesia seperti pesawat Airbus yang banyak dipesan oleh Lion Air dan produk di toko departmen store Galleries Lafayatte atau produk kecantikan L Occitane dan lain-lain.
“Kita paksa orang Prancis yang punya kepentingan bisnis di Indonesia untuk jadi juru lobi kita,” ujar Drajad, di Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Lebih lanjut Drajad menjelaskan, Prancis memang dikenal sangat protektif terhadap produk pertaniannya dan beberapa sektor produksi lainnya. Karena itu, Pemerintah Indonesia menurut Drajad harus tegas menghadapi mereka.
“Buat posisi kita sejajar dengan mereka, jangan seolah kita mengemis dan meminta,” papar Drajad.
Sementara itu, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menilai Pemerintah Prancis sudah membuat penjajahan baru melalui pajak regresif.
Ketua Umum APKASINDO, Anizar Simanjuntak mengatakan, pengenaan pajak regresif tersebut tidak masuk akal. Pasalnya pajak tersebut dianggap bentuk neokolonialisme atau penjajahan gaya baru.
“Ini neokolonialisme berbentuk persaingan dagang, agar CPO kita lebih mahal dari minyak nabati yang diproduksi negara Prancis,” ujar Anizar.
Oleh karenanya Anizar mendorong agar pemerintah mengadakan negosiasi dengan pihak pemerintah Prancis untuk membatalkan aturan pungutan pajak regresif tersebut. Pasalnya aturan pajak baru ini berdampak sangat merugikan petani sawit di Indonesia.
“Apabila tidak ada pembatalan terkait aturan tersebut, kami para petani sawit siap turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi ke kedutaan Prancis di Indonesia,” kata Anizar.