TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA--Para pelaku usaha di Indonesia khususnya yang bergerak di bidang ekspor-impor, harus menghadapi kenyataan pahit. Lagi-lagi hal ini terkait dengan kegiatan kepelabuhanan.
Sebelumnya, para pengusaha disibukkan dengan kasus dwelling time dan terbongkarnya kasus korupsi di Pelindo II yang sempat mengganggu aktivitas bongkar-muat di Pelabuhan Tanjung Priok.
Kini, yang terbaru, munculnya ketentuan dari Direksi PT Pelindo II terkait perubahan tarif jasa penumpukan petikemas.
Dalam Keputusan Direksi PT Pelindo II No. HK.568/23/2/1/PI.II tertanggal 23 Februari 2016 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Direksi PT Pelindo II No. HK.56/3/2/1/PI.II-08 tentang tarif Pelayanan Jasa Petikemas di Terminal Petikemas di Pelabuhan Tanjung Priok, dirasakan menohok para pengusaha dan membuat mereka kelimpungan.
Bagaimana tidak, beleid yang berlaku sejak 1 Maret 2016 menetapkan kenaikan tarif jasa penumpukan petikemas isi impor hingga 900 persen untuk proses bongkar di hari ke-2.
Detilnya, untuk hari ke-1, tidak dipungut tarif pelayanan jasa penumpukan. Nah, ketentuan itu baru berlaku ketika memasuki hari ke-2 dan seterusnya, dihitung per harinya sebesar 900 persen dari tarif dasar.
“Ini kan luar biasa keblingernya. Indonesia memang hebat, sampai biaya pelabuhan termahal dan lebih hebat lagi pelopornya BUMN, Pelindo II,” ujar Wakil Ketua Umum bidang Logistik dan Supply Kadin, Chain Rico Rustombi.
Rico hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keanehan pada beleid tersebut. Padahal, menurutnya pemerintah saat ini tengah gencar-gencarnya menggerakkan kembali sektor riil agar dapat menjadi pondasi bagi kemajuan ekonomi Indonesia melalui beberapa Paket Kebijakan Ekonomi.
Namun, yang terjadi, “Ada BUMN dalam hal ini Pelindo II yang sangat kontra produktif kebijakannya. Ini tentu berdampak pada sektor riil,” ujarnya.
Tentu saja yang paling merasakan pahitnya beleid ini adalah pada pengguna, pemakai jasa dan pemilik barang. Mereka harus menanggung beban dengan mengeluarkan tambahan biaya di logistik karena pelabuhan dikelola oleh BUMN.
Kemudian, mereka juga harus menanggung beban kenaikan biaya dalam produksi sehingga menjadi high cost economic. Terakhir, yang harus dicermati adalah produk mereka di pasar tidak berdaya saing, karena harga jualnya dari dalam negeri sudah sangat mahal.
Karena itu, “Mewakili Kadin Indonesia, kami akan mendesak agar aturan tersebut dibatalkan dan dicabut,” tandasnya.
Senada dengan Rico, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy juga mendukung pembatalan dan pencabutan ketentuan direksi Pelindo II tersebut.
“Sebaiknya memang dikembalikan ke aturan sebelumnya. Aturan tersebut cukup mengakomodasi para pengusaha. Beleid sebelumnya menyebutkan bahwa untuk proses bongkar pada hari ke- 1 hingga ke-3, free charge alias gratis.
Sedangkan untuk penumpukan kontainer di hari ke-4 sampai ke-7 dikenakan tarif 500 persen dan di atas 7 hari sebesar 700 persen.
“Kita sebagai pengusaha tidak ingin kok barang menumpuk lama di pelabuhan. Kita pinginnya cepat keluar pelabuhan,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
“Kita juga paham bahwa beleid ini dengan jelas memperlihatkan ada kepentingan untuk menambah income sekaligus upaya sabotase mengerdilkan paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo. Ini harus dihentikan,” ujarnya.
Inov --demikian dia biasa disapa-- juga melihat keanehan dari beleid baru Pelindo II itu. Seharusnya keputusan dan surat direksi Pelindo II tersebut adalah untuk petikemas yang telah terbit Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) dan Surat Pengeluaran Petikemas (SP2), bukan untuk seluruh petikemas isi impor.
Selain itu, peraturan ini terbit di saat kursi Dirut Pelindo II vakum. Di sisi lain, aturan ini tidak pernah disosialisasikan terlebih dulu. Selama ini, katanya jika ada kenaikan tarif di pelabuhan laut nasional selalu ada pembicaraan dengan asosiasi.
Selain itu juga dilakukan sosialisasi kepada pengguna jasa/pemakai jasa/pemilik barang. Kenyataannya semua tidak dilakukan.
Karena itu, “Kami dan semua pelaku usaha yang melakukan kegiatan ekspor-impor, akan melayangkan surat protes langsung kepada Presiden Joko Widodo, Menkeu, Menko Perekonomian, Menko Maritim dan Menhub. Tujuannya agar keputusan direksi Pelindo II dicabut dan dikaji kembali,” ujarnya.