News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Restitusi Pajak Bikin Investor Tambang Kebingungan

Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi tambang batubara.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai pelaksanaan restitusi PPN belum benar dilakukan.

Hal itu membuat perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) generasi III kebingungan.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan batu bara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala mengatakan Direktorat Jenderal Pajak belum merata melaksanakan restitusi pajak.

Menurut Supriatna hal tersebut menimbulkan iklim investasi batu bara yang tidak kondusif.

"Akibatnya investor asing tidak bisa mengerti kenapa kontrak yang sama tapi treatment-nya dari tahun ke tahun berbeda-beda," ujar Supriatna di Jakarta, Rabu (23/3/2016).

Dalam aturan PKP2B generasi III, kontrak perusahaan berstatus pengusaha kena pajak (PKP) karena batu bara masuk dalam kategori barang kena pajak (BKP).

Sehingga perusahaan batu bara wajib membayar pajak termasuk PPN dan berhak atas restitusi pajak jika ada kelebihan bayar.

Namun, Direktorat Jenderal Pajak justru berdalih dengan Undang-undang PPN 2009 yang menyebutkan batu bara bukan termasuk dalam BKP.

Alasan utamanya batu bara merupakan produk yang diambil dari sumbernya.

"Buat investor asing tidak penting masalah uangnya, yang jadi masalah kenapa begini, kontraknya sama tapi berbeda, perlakuannya berbeda," kata Supriatna.

Supriatna mengungkapkan, saat ini Kantor Pelayanan Pajak (KPP) memiliki pedoman yang berbeda-beda. Ada yang menyetujui restitusi PPN jika ada kelebihan bayar, tapi banyak juga yang menganggap hal itu tidak bisa dilakukan dan harus melalui pengadilan pajak.

Supriatna menyebutkan ada perusahaan dalam satu grup, memiliki empat PT yang bergerak dalam bidang yang sama.

Namun perlakuan Direktorat Jenderal Pajak kepada entitas perusahaan itu yang posisinya sama, ternyata berbeda.

"Nah pemegang saham mempermasalahkan itu. Jadi berat bagi jajaran direksinya untuk menjelaskan itu," ujar Supriatna.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini